REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Keuangan Sri Mulyani memproyeksi, pertumbuhan ekonomi pada tahun 2019 akan dibayangi oleh faktor downside risks yang besar. Hal ini diprediksi di tengah peningkatan target pertumbuhan ekonomi dari realisasi 5,17 pada 2018 menjadi 5,3 di tahun ini.
Menurut Sri, banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya downside risks ini. Di antaranya eksternal faktor seperti dinamika perang dagang antara Amerika dengan China. "Ekspor juga harus dijaga untuk tetap tumbuh dan investasi yang masih belum tembus tujuh persen," katanya saat ditemui usai acara Enterpreneurship Forum Kadin Indonesia di Jakarta, Rabu (27/2).
Sri mengatakan, kondisi tersebut merupakan pekerjaan rumah bersama pemerintah dan pengusaha. Salah satunya dalam hal meningkatkan investasi yang hanya tumbuh di angka 6,6 persen. Ia berharap, pertumbuhannya mampu mencapai tujuh persen pada 2019.
Tapi, Sri mengatakan, dinamika di dalam negeri masih sangat baik. Indikatornya adalah konsumsi yang masih cukup kuat dan bagusnya kepercayaan konsumen. Faktor ini diharapkan dapat menyeimbangkan downside risks yang kebanyakan dipengaruhi faktor eksternal.
Sri menjelaskan, Indonesia memiliki kondisi ekonomi dalam negeri dengan tingkat resiliensi lebih baik dibanding dengan kondisi ekonomi global. Salah satu buktinya, pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap di atas 4,6 persen ketika terjadi krisis keuangan global pada 2008 sampai 2009. "Saat itu, pertumbuhan ekonomi global -0,1 persen," katanya.
Resiliensi juga ditunjukkan saat The Federal Reserve menyampaikan akan melakukan quantitative easing pada 2013-2014. Saat itu, terjadi gejolak taper tantrum. Sedangkan, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih berada di kisaran 5,6 persen.
Sri berharap, momentum pertumbuhan ekonomi ini dapat terus terjaga dengan menjaga dan mengelola seluruh komponen dengan baik. Entah itu dari sisi permintaan, ekspor, impor hingga perbelanjaan pemerintah.
Sementara itu, pengamat ekonomi Raden Pardede menilai, tantangan terbesar Indonesia saat ini adalah teknologi. Aspek ini memberikan dampak terhadap kemampuan, fungsi produksi dan sebagainya. Di sisi lain, teknologi turut menciptakan inequality hingga tension.
Raden menilai, kecenderungan Indonesia adalah menghindari tantangan. Padahal, akan lebih baik apabila seluruh pemangku kepentingan menghadapinya sekalipun memiliki risiko gagal. "Justru gagal adalah hal wajar, jangan takut. Itu ide besarnya," tuturnya.
Raden menegaskan, pemerintah dan pengusaha harus responsif terhadap teknologi ini. Apabila tidak mampu mengadopsi dan melakukan penyesuaian, Indonesia akan menghadapi dinosaurus risk, yakni risiko mati atau tertinggal oleh perkembangan zaman.