REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Rosan P Roeslani memprediksi, pasar digital ekonomi di Indonesia dapat mencapai 150 miliar dolar AS atau sekitar Rp 2.000 triliun pada 2025. Angka tersebut terbilang cukup besar jika mengacu kepada pasar ekonomi digital di Asia yang diperkirakan mencapai 240 miliar dolar AS di tahun sama.
Optimisme tersebut muncul mengingat perkembangan teknologi dan tingkat adaptasi masyarakat terhadap digitalisasi yang terbilang baik. Tapi, Rosan menambahkan, masih banyak pekerjaan rumah yang harus dihadapi dunia usaha.
"Di antaranya masalah tenaga kerja dan konektivitas," tuturnya dalam acara Kadin Entrepreneurship Forum di Jakarta, Rabu (27/2).
Rosan menjelaskan, upah buruh selalu mengalami kenaikan setiap tahun. Tapi, di sisi lain, dunia usaha bersama pemerintah masih jarang memikirkan masalah kualitas. Dalam hal ini adalah bagaimana meningkatkan daya saing dari para pekerja, terutama untuk menghadapi revolusi industri 4.0.
Tantangan lain yang disebutkan Rosan adalah bonus demografi. Menurutnya, pengusaha harus mampu memanfaatkan bonus demografi yang kini sedang dialami dan diperkirakan akan berakhir di tahun 2038 sampai 2040.
"Jangan sampai bonus demografi ini menjadi bahan demografi menjadi beban di masa mendatang apabila kita tidak bisa antisipasi dengan baik," ujarnya.
Rosan menilai, pemanfaatan tersebut kini sudah mulai dilakukan termasuk melalui perusahaan rintisan yang ada. Beberapa di antaranya bahkan telah masuk dalam kategori unicorn seperti Gojek dan Bukalapak.
Menurutnya, mereka secara konsisten membuka lapangan pekerjaan dan melahirkan jiwa entrepreneurship, terutama terhadap UMKM.
Rosan menjelaskan, keberadaan marketplace ini dapat memberikan akses pasar yang sangat luar biasa kepada pelaku UMKM. Di masa lampau, mereka tidak memiliki akses pasar yang terbuka begitu cepat. Kini, mereka sudah dapat meraih calon konsumen ke seluruh daerah di Indonesia.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan, revolusi industri sudah membawa perubahan cepat dalam kehidupan masyarakat, terutama dari segi bisnis. Otomatisasi, internet of things maupun big data memberikan banyak opsi baru bagi para pelaku bisnis dalam menjalankan bisnis maupun konsumen dalam menentukan pilihan.
Sri menambahkan, revolusi industri merupakan suatu opsi yang dulunya dianggap tidak relevan dan kini menjadi real di depan mata. Pelaku bisnis juga dihadapkan dengan dua opsi, apakah harus berubah dari segi model bisnis ataupun pendekatan kepada konsumen atau tidak.
"Kalaupun berubah, harus seperti apa," ujarnya.
Untuk dapat bertahan di tengah disrupsi teknologi, Sri menganjurkan para pengusaha untuk cepat mengenali teknologi. Sebab, mereka yang terlambat dalam melihat perubahan akan cenderung tertinggal.
Menurut Sri, pemerintah sudah berupaya menyiapkan lapangan luas sebagai ‘tempat bermain’ para pengusaha, termasuk di sektor ekonomi digital. Di antaranya dengan membangun infrastruktur digital melalui Palapa Ring.
"Sekarang, tinggal pengusaha memanfaatkan playing field ini," ujarnya.
Sri menambahkan, pemerintah juga sudah membuat kebijakan yang agile dan fleksibel untuk dunia usaha. Pemerintah tidak dapat membuat peraturan seperti menulis di prasasti batu karena semua komponen akan terus bergerak setiap hari. Misalnya saja kenaikan suku bunga dan geopolitik di sejumlah negara ekonomi besar dunia yang juga mengalami dinamika.
Sri mengajak pengusaha untuk segera memanfaatkan lapangan tersebut. "Jangan sampai pengusaha dari negara lain yang justru melihat potensi besar ini dan memanfaatkannya," katanya.