REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mencatat sepanjang 2018 terdapat 81 aduan masyarakat terkait fintech peer-to-peer lending (fintech pendanaan). Keluhan yang dilayangkan pun bervariasi. Mayoritas didominasi keluhan penagihan oleh debt collector disertai ancaman, suku bunga yang mencekik nasabah, serta penyadapan ponsel dan menyebarkan masalah utang di semua kontak yang ada di ponsel peminjam. Ironisnya tindakan-tindakan yang meresahkan tersebut tak hanya dilakukan oleh fintech ilegal namun juga yang sudah legal dan terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Staf bidang Pengaduan dan Hukum YLKI Rio Priyambodo mengatakan aduan mayoritas berasal dari peminjam di kota-kota besar dan yang berusia 20 sampai 30 tahun. “Anak-anak muda belum punya kondisi keuangan yang stabil sehingga mereka mengandalkan kredit fintech sebagai solusi,” jelasnya saat dihubungi Republika.co.id, belum lama ini.
Melihat besarnya risiko yang harus ditanggung oleh peminjam, tak heran belum lama ini muncul kasus sopir taksi yang nekat bunuh diri karena terlilit utang di fintech peer-to-peer lending. Dalam surat wasiatnya, korban meminta OJK dan pihak berwajib menghentikan praktik pinjaman daring yang menurutnya sudah menjadi jebakan setan. Rio mengatakan peristiwa tersebut adalah pukulan bagi pemerintah.
Pemerintah dituntut lebih responsif. Kasus itu harusnya menjadi dorongan menerbitkan regulasi yang lebih kuat untuk mengatur fintech. Pemerintah juga harus lebih gencar mengedukasi masyarakat mana saja fintech yang legal dan ilegal.
Asosiasi fintech juga didesak lebih ketat mengontrol anggotanya dan mendata siapa saja yang melakukan penagihan tidak sesuai dengan aturan. “Kalau tidak ikut aturan laporkan ke OJK dan keluarkan dari asosiasi. Jangan sampai masyarakat yang dikorbankan,” kata Rio.
Wakil Ketua Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) Sunu Widyatmoko menuturkan demi menertibkan anggota asosiasi pihaknya akan menerbitkan standar kelayakan termasuk dalam hal penagihan. Seluruh anggota AFPI diminta mengikuti penyuluhan penagihan yang dimulai dari pemegang saham, jajaran direksi, dan komisaris.
“Apa yang dilakukan debt collector itu kan hanya berdasarkan perintah manajemen. Oleh karena itu manajemen fintech peer-to-peer lending wajib memahami apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan kepada nasabah,” ungkap Sunu.
Nantinya hanya fintech yang memenuhi standar kelayakan yang berhak masuk menjadi anggota AFPI. Angkatan pertama penyuluhan ini, kata Sunu, akan dimulai pada Maret mendatang.
Selain permasalahan tersebut, fintech ilegal yang beroperasi di Indonesia banyak yang berasal dari luar negeri seperti Cina dan Thailand. Karena peminjaman lewat aplikasi ini biasanya akan meminta akses ke kontak, kamera, hingga lokasi pengguna, artinya semua data para peminjam di Indonesia tidak berada di Indonesia. Peminjam juga tidak tahu bagaimana data-data krusial ini dipergunakan.
Menyikapi kondisi ini Dirjen Aptika Kemenkominfo Semuel Pangerapan mengatakan pihaknya sudah memblokir 600-an layanan fintech dan investasi bodong. Saat ini ada 99 fintech peer-to-peer lending yang terdaftar di OJK. Fintech peer-to-peer lending di luar 99 nama tersebut artinya adalah fintech ilegal. “Jika ada masyarakat yang merasa data pribadinya disalahgunakan, segera laporkan ke OJK atau Kemenkominfo. Kami akan bantu menyelesaikan permasalahannya dan memberi sanksi fintech yang melanggar perlindungan data pribadi,” jelas Semuel.