Rabu 27 Feb 2019 04:15 WIB

Mewaspadai Ancaman Fintech Peer-to-Peer Ilegal

AFPI mengakui masih ada pengaduan terkait penagihan oleh fintech pendanaan.

Rep: Christiyaningsih/ Red: Friska Yolanda
Ilustrasi Fintech ( Financial Technology)
Foto: Republika/Mardiah
Ilustrasi Fintech ( Financial Technology)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menjamurnya Penyelenggara Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi (Fintech Peer-to-Peer Lending) membuat masyarakat semakin mudah mengakses dana tunai dalam waktu singkat. Hanya berbekal unggahan KTP dan foto diri, dana segar pun masuk kantong hanya dalam waktu satu hingga tiga hari.

Hal ini pulalah yang membuat Hendra (bukan nama sebenarnya) tergiur. Hingga saat ini, ia sudah lebih dari 10 kali meminjam dana di peer-to-peer lending dan masih punya tanggungan cicilan. Jumlahnya bervariasi mulai dari Rp 2 juta sampai Rp 4 juta sekali pinjam.

Baca Juga

Namun, kemudahan tersebut harus dibayar mahal lantaran dari uang yang dipinjam Hendra harus membayar bunga 30 sampai 50 persen. Beban finansial pun terasa kian berat tatkala ia tak punya uang untuk membayar cicilan. Alhasil setiap telat membayar Hendra harus menghadapi ancaman dari para penagih utang (debt collector). Padahal ia meminjam di peer-to-peer lending resmi yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK). 

“Biasalah diancam akan diblack list Bank Indonesia atau diancam dia akan menghubungi orang-orang di kontak handphone saya,” ungkapnya, beberapa waktu lalu.

Akan tetapi pria yang sehari-hari bekerja sebagai surveyor motor ini punya trik agar kontak di ponsel miliknya tidak dapat diakses oleh debt collector. “Setahu saya selama tidak login ke aplikasinya maka dia tidak akan bisa mengambil kontak di handphone kita,” jelas pria berusia 24 tahun tersebut. Menurut Hendra ia memilih meminjam uang di aplikasi peer-to-peer demi memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Apa yang dialami Hendra bertolak belakang dengan yang diungkapkan oleh Wakil Ketua Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) Sunu Widyatmoko. Sunu mengatakan setiap P2P legal yang terdaftar di OJK punya batasan dalam menagih kredit kepada peminjam. 

“Bagaimanapun penagihan adalah upaya agar orang membayar sesuai perjanjian. Kalau mereka tidak bayar atau mundur kami wajib mengingatkan. Tentu saja orang bervariasi. Tapi kita tegaskan harus sopan, tidak menggunakan kata-kata kotor, dan tidak disertai ancaman yang mengandung kriminal. Anggota asosiasi juga tidak boleh mengakses data peminjam seperti data SMS, telepon, dan daftar kontak,” ujar Sunu saat dihubungi Republika.co.id.

Kisah berbeda datang dari Fendi (bukan nama sebenarnya). Karena terdesak memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dia nekat mengajukan pinjaman lewat peer-to-peer lending. Akan tetapi karena tak sanggup melunasi, Fendi merasakan pengalaman pahit ‘diculik’ oleh debt collector

Ia dibawa paksa dari rumahnya ke sebuah tempat dan tak akan dilepaskan sampai membayar uang Rp 3 juta. Berkat bantuan saudaranya Fendi pun bisa lolos dari drama penyanderaan tersebut. Kini, ia telah berganti nomor handphone karena trauma dengan pengalamannya.

Berkaca dari kisah tersebut Sunu tak menampik memang masih ada pengaduan masyarakat yang diterima AFPI. Menurut Sunu ada dua macam aplikasi P2P lending yakni yang legal dan ilegal. Lebih dari 90 persen aduan berasal dari peminjam di aplikasi P2P lending ilegal dan sisanya dilayangkan oleh peminjam dari aplikasi P2P lending legal. 

Aduan yang bisa ditindaklanjuti AFPI hanya aduan yang berasal dari peminjam P2P lending legal dan terdaftar di organisasi tersebut. Di AFPI terdapat komite etik untuk memverifikasi aduan-aduan. Jika ada P2P lending legal yang melakukan pelanggaran nantinya akan ada sanksi dalam bentuk peringatan hingga pembekuan aplikasi.

Walau anggota AFPI tidak diperkenankan mengakses data peminjam seperti SMS dan kontak telepon, memantau lokasi peminjam lewat GPS dan foto tetap dilakukan. “Kalau GPS dan foto tetap harus ada karena kami ingin tahu peminjam bohong atau tidak dan untuk mendeteksi lokasi. Misalnya dia mengaku tinggal di Pejompongan tapi ternyata setelah dicek tinggal di Bandung. Kami ingin mencari desain yang ideal untuk analisa kredit dan kemungkinan penyalahgunaan,” terang Sunu.

Diblokir OJK

Pada Februari ini, Satuan Tugas Penanganan Dugaan Tindakan Melawan Hukum di Bidang Penghimpunan Dana Masyarakat dan Pengelolaan Investasi atau Satgas Waspada Investasi kembali menghentikan kegiatan 23 fintech peer-to-peer lending. Semua yang diblokir tersebut tidak terdaftar atau memiliki izin OJK.

Ketua Satgas Waspada Investasi, Tongam L Tobing meminta masyarakat untuk tidak melakukan pinjaman terhadap fintech peer-to-peer lending tanpa terdaftar atau izin OJK agar tidak dirugikan ulah peer-to-peer lending ilegal tersebut.

Tongam mengatakan saat ini banyak entitas fintech peer-to-peer lending yang melakukan kegiatan melalui aplikasi yang terdapat di appstore atau playstore bahkan di media sosial yang tidak terdaftar dan tidak berizin dari OJK. Praktik demikian berpotensi merugikan masyarakat.

Satgas Waspada Investasi telah melakukan upaya pencegahan dan penanganan yang sangat tegas terhadap Fintech Peer-To-Peer Lending ilegal. Beberapa upaya yang dilakukan di antaranya mengumumkan Fintech Peer-To-Peer Lending ilegal kepada masyarakat, mengajukan blokir website dan aplikasi secara rutin kepada Kementerian Komunikasi dan Informatika dan memutus akses keuangan dari fintech peer-to-peer lending illegal. 

Pemutusan akses dilakukan dengan menghimbau kepada perbankan untuk menolak pembukaan rekening tanpa rekomendasi OJK. Perbankan juga diminta melakukan konfirmasi kepada OJK untuk rekening existing yang diduga digunakan untuk kegiatan fintech peer-to-peer lending ilegal. OJK juga meminta Bank Indonesia untuk melarang Fintech Payment System memfasilitasi fintech peer-to-peer lending ilegal.

Informasi mengenai daftar entitas fintech peer-to-peer lending yang terdaftar atau memiliki izin dari OJK dapat diakses melalui www.ojk.go.id. Saat ini, sampai Februari sudah ada 99 perusahaan fintech peer-to-peer lending yang terdaftar dan berizin OJK. Khusus untuk perusahaan yang berizin dan terdaftar di OJK, berbagai ketentuan sudah dikeluarkan OJK dan AFPI untuk melindungi konsumen peminjam dan pemberi pinjaman. Jika masyarakat ingin memanfaatkan layanan fintech peer-to-peer lending sebaiknya bertanya atau berkonsultasi kepada OJK melalui Kontak OJK 157, email [email protected] atau [email protected].

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement