REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Pencapaian pembangunan energi baru terbarukan (EBT) sampai akhir 2018 masih rendah.
Yaitu masih mencapai delapan persen dari bauran energi nasional yang ditargetkan untuk mencapai 23 persen di 2025.
Penetapan 23 persen tersebut sebagaimana yang ditetapkan dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), yang merujuk dari Paris Agreement pada 2015 lalu.
Ketua DPP Lembaga Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, Prasetyo Sunaryo, mengatakan pihaknya tengah berikhtiar membantu pemerintah dalam upaya mencapai 23 persen penggunaan EBT sebagaimana komitmen pada Paris Agreement tersebut.
"Pemerintah tidak bisa bekerja sendiri. Perlu peran serta pebisnis, ormas seperti halnya LDII, institusi pendidikan, dan media untuk bersatu padu mensukseskan 23 persen penggunaan EBT pada 2025 mendatang,” kata dia dalam keterangannya kepada Republika.co.id di Jakarta, Kamis (21/2).
Pernyataan ini disampaikan dalam FGD bertema Upaya Percepatan Pendayagunaan Energi Baru Terbarukan di Jakarta yang dihelat LDII, pada Rabu (20/2) siang.
Dia menjelaskan, perlu dibangun kesadaran bersama bahwa potensi Indonesia untuk EBT sangatlah berlimpah. Dari sinar matahari, angin, air untuk mikrohidro, panas bumi, dan biomasa yang totalnya bisa mencapai 411 Giga Watt.
“Maka mari kita mendayagunakannya. Dan menyelesaikan masalah yang menghambat percepatan pendayagunaannya," kata Prasetyo
Ketua Komisi Tetap Energi Panas Bumi dan Energi dari Pengolahan Sampah Kadin, Fauzi Imron mengakui untuk mencapai 23 persen itu tidak mudah. Sepanjang 2015-2018, kapasitas pembangkit Energi Terbarukan (ET) tumbuh rata-rata di bawah 250 MW per tahun, lebih rendah dari pertambahan pada periode 2010-2014.
Kondisi ini, menurut dia, akan membuat pemerintah lebih berat dalam mengejar target 23 persen bauran energi terbarukan pada 2025, di mana diperkirakan perlu dibangun sekitar 36 ribu MW Pembangkit ET dengan biaya sekitar 90 miliar dolar AS. “Itu biaya yang tidak sedikit," kata Fauzi.
Selain itu, dari kacamata pebisnis ada empat kendala, yang membuat mereka enggan berusaha di bidang EBT. Yang pertama adalah inkosistensi kebijakan dan peraturan terkait EBT. Kedua, harga EBT. Ketiga kendala implementasi Peraturan Pemerintah, dan keempat keterbatasan sumber dana untuk Proyek EBT.