REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kinerja ekspor Indonesia ke pasar global kian melesu. Kondisi itu membuat neraca perdagangan Indonesia tidak luput dari kondisi defisit. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menilai, penurunan nilai ekspor yang terjadi tidak lepas dari situasi ekonomi global yang mengalami koreksi.
“Kita melihat proyeksi ekonomi dunia tahun 2019, dimana negara-negara yang selama ini menjadi destinasi Indonesia pertumbuhannya kian melemah,” kata Sri di Kementerian Keuangan, Jakarta Pusat, Senin (18/2).
Negara-negara maju yang menjadi target ekspor utama bagi Indonesia di antaranya yakni negara kawasan Benua Eropa, Amerika Serikat, Cina, dan Jepang. Akibat pelemahan ekonomi yang dialami negara-negara itu, pertumbuhan ekonomi dunia turut mengalami pelemahan dari semula diperkirakan sebesar 3,7 persen menjadi hanya 3,5 persen 2019.
Seiring pelemahan itu, Sri mengatakan, pemerintah bersama para pelaku usaha domestik wajib untuk waspada terhadap risiko yang dapat ditimbulkan. Salah satu dampak yang dapat dirasakan dengan cepat yakni kegiatan ekspor yang menjadi lebih sulit. Khususnya, tujuan destinasi ekspor.
Karena itu, Sri mengatakan salah satu solusi yakni lewat diversifikasi pasar. Yaitu, dengan menyasar kawasan negara berkembang yang potensial untuk menjadi pasar bagi produk dari Indonesia. “Seperti yang sudah presiden katakan yaitu diversifikasi. Meskipun, kita juga harus hati-hati dalam melihat mata uang negara berkembang yang akan menjadi tujuan ekspor,” ujarnya.
Menurut Sri, sinyal baik sementara datang dari adanya titik terang kesepakatan perjanjian dagang antara AS dan Cina. Sebab, ia menilai, kedua negara tersebut pun mulai merasakan dampak negatif dari adanya perang dagang yang selama ini menyulut diantara keduanya.
Direktur Jenderal Bea dan Cukai, Kementerian Keuangan, Heru Pambudi, menyatakan, pihaknya telah memperbarui regulasi fasilitas kemudahan impor untuk tujuan ekspor (KITE) yang diperuntukkan bagi dunia usaha berorientasi ekspor. KITE pada dasarnya merupakan fasilitas pembebasan biaya bea masuk dan/atau PPN atau PPnBM atas impor barang atau bahan yang akan diolah, dirakit, atau dipasang pada barang lain dengan tujuan diekspor atau diserahkan kepada kawasan berikat.
Selain itu, pembebasan perpajakan dan kepabeanan, KITA juga memfasilitasi pengembalian bea masuk atau cukai yang telah dibayar atas impor barang yang telah dieskpor atau diserahkan ke kawasan berikat.
Adapun pembaruan kebijakan yang dilakukan, Heru mengatakan, pihaknya menerapkan sistem online untuk perizinan menggunakan KITA ataupun dalam transaksional KITE. “Peraturan ini merupakan deregulasi dari peraturan sebelumnya. Kami telah mengeluarkan PMK nomor 160 dan 161 tahun 2018 yang mulai berlaku efektif pada 18 Februari 2019,” ujar dia.