REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Impor pangan Indonesia mencapai Rp 200 triliun dan meningkat 21 persen setiap tahunnya. Padahal, Indonesia memiliki potensi hortikultura tropika yang unggul.
Siaran pers IPB yang diterima Republika.co.id, Jumat (15/2) menyebutkan, buah-buah tropika sangat kompetitif dengan produk buah negara subtropis sehingga peluangnya besar. “Pasarnya luas. Untuk dapat masuk pasar, kita harus berdaya saing dan bisa mencari peluang. Oleh karena itu petani harus punya ilmu,” tutur Rizki Maulana, mahasiswa Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor yang juga menjadi pengurus Sabisa Farm saat Kunjungan Tokoh dan Edukasi Pertanian kepada siswa SMA Penerima Manfat (PM) Gerakan Cinta Anak Tani (GCAT), Sabtu (2/2) di Bogor.
"Keliling dunia dengan biaya sendiri, berkunjung ke berbagai daerah untuk berbagi ilmu, menjalin relasi dengan institusi pendidikan dan pemerintah, mungkin bagi kebanyakan orang hal tersebut mustahil untuk dilakukan seorang petani, tapi hal tersebut tidak mustahil bagi petani yang punya ilmu dan mental pengusaha," lanjut Rizki saat memaparkan kesuksesan seorang petani buah naga.
Para siswa SMA Penerima Manfat (PM) Gerakan Cinta Anak Tani (GCAT) belajar pertanian di Sabisa Farm milik IPB, Bogor.
Dalam kegiatan ini juga dijelaskan beberapa masalah umum petani di Indonesia. Di antaranya terlalu mengutamakan kuantitas produksi yang tinggi dengan tidak terlalu fokus pada pemasaran hasil panen ke depan. “Petani diharapkan memiliki kemampuan pengolahan hasil panen agar tidak hanya berfokus hasil mentah yang menimbulkan masalah saat terjadi kelebihan panen,” ujarnya.
Ia mengemukakan, pemanfaatan unit produksi, unit edukasi, dan unit rekreasi pada lahan pertanian dengan maksimal juga dapat memaksimalkan keuntungan petani. Oleh karena itu peserta kegiatan ini selain dikenalkan dengan cara budidaya juga dikenalkan cara pengolahan hasil panen.
"Sistem manajemen pertanian dan pemasaran hasil panen yang bagus dapat meningkatkan income dan kesejahteraan petani,” tutur Fikayatul K, salah satu pengurus Sabisa Farm saat menyampaikan materi kepada PM GCAT.
Jangan takut bermimpi jadi petani.
Stigma menjadi petani itu kotor merupakan hal umum penyebab rendahnya minat generasi muda terhadap pertanian. Padahal, masih banyak yang harus diperbaiki dan butuh peran generasi muda pada sistem pertanian off farm yang bidangnya sangat luas dibandingkan pertanian on farm.
“Kegiatan ini menjadi salah satu agenda wajib GCAT dalam rangka membuka wawasan PM GCAT terhadap dunia pertanian sesungguhnya,“ tutur Suci Martinea, mahasiswa Fakultas Ekologi Manusia IPB yang juga Koordinator GCAT.
“Pertanian itu kotor karena kita berfikir kotor tentang pertanian. Sebagai pemuda, kita harus menjadi wirausaha dan punya mimpi, dapat mengubah kesulitan menjadi peluang, mengubah putus asa menjadi harapan, dan megubah sampah menjadi emas. Kita harus menghapuskan citra petani sebagai kaum yang termarginalkan, petani itu bisa sukses dan bermanfaat bagi orang lain. Saat ini jadi petani juga bisa keliling dunia, tidak cuma kotor-kotoran dengan tanah dan cangkul, jangan takut bermimpi jadi petani,” ujar Rizki saat memberikan semangat kepada peserta.
Saat ini, jadi petani juga bisa keliling dunia, tidak cuma kotor-kotoran dengan tanah dan cangkul.
Sabisa (Sarana Belajar Petani Pengusaha Sarjana) Farm adalah salah satu unit Teaching Farm IPB yang didirikan melalui kerja sama Career Development and Alumni Affairs IPB, Fakultas Pertanian IPB, dan Ikatan Alumni Fakultas Pertanian IPB.
GCAT merupakan suatu gerakan sosial mahasiswa IPB yang memberikan program beasiswa kepada anak tani di daerah Bogor. Tujuan gerakan ini adalah membuka akses kepada generasi anak tani untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Program yang akan dilakukan meliputi pelatihan pengembangan diri, bimbingan belajar menembus perguruan tinggi negeri, pendampingan penerima manfaat berupa agricultural zone, fieldtrip, kunjungan tokoh, dan lain-lain.