Jumat 15 Feb 2019 23:11 WIB

Mentan: Harga Beras Indonesia Bukan Termahal di Dunia

Harga beras eceran Indonesia urutan ke-81 dari daftar harga termahal di dunia

Red: EH Ismail
Mentan Amran Sulaiman berdialog dengan pedagang beras.
Mentan Amran Sulaiman berdialog dengan pedagang beras.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Pertanian (Mentan), Andi Amran Sulaiman menegaskan, harga beras eceran di Indonesia bukan termahal di dunia. Menurut dia, harga beras eceran Indonesia menempati urutan ke-81 dari daftar harga beras eceran termahal di dunia. Harga beras eceran di Indonesia sebesar Rp12.374 per kg (Numbeo 2019).

"Urutan pertama harga beras eceran termahal dunia adalah Jepang sebesar Rp57.678 per kg, sementara harga beras termurah di Sri Lanka sebesar Rp7.618 per kg," kata Amran, Jumat (15/2). 

Dengan fakta tersebut, Amran meminta agar informasi tidak benar terkait harga beras eceran Indonesia termahal di dunia tidak dijadikan polemik. Seharusnya, semua pihak patut bangga berdasarkan data FAO pada 2017, Indonesia menempati nomor urut ketiga negara penghasil beras terbesar di dunia.

"Jadi jangan lagi polemik. Kalau produsen beras, 2017 Indonesia nomor tiga dunia. Catat ya, ini data FAO," ujarnya.

Terkait kenaikan harga beras yang kerap menjadi polemik, Amran menegaskan hal tersebut disebabkan ulah mafia pangan. Namun demikian, di era pemerintahan Jokowi-JK, Kementan bersama Panglima TNI, Kapolri, KPPU dan Bulog sudah banyak menyelesaikan mafia pangan. Sebanyak 409 mafia pangan sudah dikirim ke penjara dan yang sedang proses hukum sebanyak 782 perusahaan telah ditindak dengan tegas.

"Sebanyak 15 sudah diblacklist dan sebentar lagi akan ditambah 21 perusahaan. Aku tidak biarkan mafia pangan berkeliaran di Indonesia. Ini dicatat ya. Jangan 135 juta petani di atas namakan, marah nanti petani dan anda kualat," tegasnya.

Amran memastikan tidak ada kompromi bagi mafia pangan. "Aku beresin, ini perintah Bapak presiden. Sebab ketahan pangan menyangkut ketahanan negara," tambah Amran.

Beberapa waktu terakhir ini polemik sektor pertanian yang dipicu oleh aksi mengatasnamakan petani sering terjadi. Pembuangan hasil pertanian seperti buah naga, cabai, apel dan sayuran dilakukan oleh sekelompok masyarakat yang ternyata bukanlah petani dan seringnya ditunggangi kepentingan politik dan mafia marak terjadi.

Permohonan maaf atas aksi buang cabai yang dilakukan oleh kelompok tani Indonesia Harapan Makmur Bapak Sugiono, di Demak. Kemudian Agus Widya Putra di Banyuwangi dalam aksinya buang buah naga, semuanya sudah minta maaf atas kehilapan.

Begitu pula aksi para pengojek sayur dan pedagang di Kayu Aro Kerinci sudah meminta maaf atas aksi buang sayuran berupa kentang, kubis, kol dan lainnya ke jalanan yang disampaikan Pak Rosi Vaskal bersama Pak Pori Andani.

Pedagang apel di Malang, Jawa Timur, meminta maaf atas aksi membuang apel afkir atau busuk dari gudang ke pinggir jalan. Permintaan maaf tersebut disampaikan seorang pedagang apel, Susilo dalam surat pernyataan resmi.

"Perlu jadi perhatian semua pihak, kenapa dalam pikiran para pengamat bahwa komoditas pertanian dan petani selalu diposisikan untuk politisasi. Jangan membuat marah 132 juta keluarga tani Indonesia. Padahal untuk dipahami sesuai amanat Undang Undang Dasar 1945 bahwa pemerintah hadir untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya," tutup Amran. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement