REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Saham mayoritas PT Holcim Indonesia telah resmi diakusisi oleh PT Semen Indonesia. Transaksi itu pun sudah ditutup pada 31 Januari lalu.
Analis sekaligus Kepala Riset PT Koneksi Kapital Indonesia Alfred Nainggolan menilai, PT Holcim Indonesia tidak punya pilihan selain diakusisi oleh PT Semen Indonesia. Hal itu karena, sebelumnya perseroan mengalami kerugian bersih dalam dua tahun terakhir.
"Artinya dari sisi pengelolaan bisnis, Holcim belum cukup berhasil. Sementara kinerja Semen Indonesia cukup Bagus dan berhasil bukukan laba bersih," ujarnya kepada Republika.co.id, Selasa, (12/2).
Maka, kata dia, tugas pertama pascabergabungnya dua perusahaan tersebut yakni membuat PT Holcim bisa membukukan kinerja positif kembali.
"Keduanya sama-sama perusahaaan semen, tapi hanya Semen Indonesia yang profit, berarti Semen Indonesia memiliki strategi harga jual, biaya produksi, dan biaya operasional yang belum ditemukan oleh Holcim. Jadi strategi itu bisa diimplementasikan ke Holcim," tutur Alfred.
Tugas kedua, ujar dia, terkait budaya. Sebelumnya, Holcim merupakan perusahaan yang dimiliki asing sedangkan Semen Indonesia termasuk Badan Usaha milik Negara (BUMN), sehingga ketika sudah menjadi anak usaha perusahaan BUMN, corporate culture Holcim perlu menyesuaikan agar bisa jalan.
"Tugas ketiga dari sisi sektor, seperti diketahui sektor semen masih oversuply karena ketersediaannya sekitar 100 sampai 110 juta ton namun konsumsinya 60 sampai 65 juta ton. Maka poinnya, ketika Semen Indonesia akuisisi Holcim, mereka harus bisa pertahankan pangsa pasar karena sudah satu brand," jelasnya.
Alfred menegaskan, beberapa tugas di atas harus bisa dilaksanakan. Pasalnya bila setelah kedua perusahaan bergabung namun Holcim tetap rugi, maka dapat memberatkan kinerja Semen Indonesia.
"Sementara sumber dana (akuisisinya) pakai pembiayaan utang. Maka kalau ini nggak berhasil balikkan buku positif, dapat munculkan beban hutang dan memengaruhi nilai saham Semen Indonesia," tegas Alfred.
Pada kuartal akhir tahun ini, menurut dia, seharusnya perbaikan kinerja Holcim pascadiakusisi sudah mulai bisa terlihat. "Karena kalau dilihat keduanya sama-sama pemain di sektor semen, jadi nggak ada transfer teknologi dan sebagainya, sehingga progress (kinerjanya) bisa cepat," tuturnya.
Berdasarkan laporan keuangan Holcim pada semester I 2018, tercatat pendapatan emiten berkode saham SMCB itu naik 3,82 persen menjadi Rp 4,45 triliun dibandingkan Rp 4,29 triliun pada periode sama tahun lalu. Hanya saja beban pokok penjualan SMCB naik sebesar 6,78 persen menjadi Rp 3,91 triliun dari sebelumnya Rp 3,67 triliun, sehingga laba kotor Holcim Indonesia turun 13,59 persen menjadi Rp 537,38 miliar sebelumnya Rp 621,91 miliar.