Jumat 08 Feb 2019 15:40 WIB

BI Sebut Rupiah Kelewat Murah Saat Kurs Rp 13.900

Nilai tukar rupiah belum mencerminkan fundamental perekonomian yang terus membaik.

Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo seperti biasa menyampaikan perkembangan ekonomi mingguan setiap usai shalat Jumat di Masjid Bank Indonesia, Jakarta Pusat, Jumat (25/1).
Foto: Republika/Lida Puspaningtyas
Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo seperti biasa menyampaikan perkembangan ekonomi mingguan setiap usai shalat Jumat di Masjid Bank Indonesia, Jakarta Pusat, Jumat (25/1).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Indonesia (BI) menyebutkan nilai tukar rupiah yang dalam beberapa hari terakhir bergerak di kisaran Rp 13.900 per dolar AS masih terlalu murah (undervalue). Hal ini mengindikasikan masih terdapat ruang penguatan untuk waktu ke depan.

Ditemui di Jakarta, Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan nilai tukar rupiah saat ini belum mencerminkan fundamental perekonomian yang menurutnya terus membaik. Hal ini terlihat dari indikator inflasi, prospek pertumbuhan ekonomi 2019 dan juga neraca pembayaran.

Baca Juga

"Secara hitung-hitungan fundamental, rupiah kita masih undervalue (terlalu murah), baik dari inflasi rendah, dan prospek pertumbuhan ekonomi yang akan lebih baik, dan juga NPI yang lebih baik," kata Perry.

Merujuk kurs tengah Bank Indonesia, nilai tukar rupiah sejak Jumat pekan kemarin (1 Februari 2019) terus merangsek ke level kisaran Rp 13.970 dari sebelumnya di Rp 14.072. Pada Jumat ini, kurs tengah BI menetapkan rupiah di Rp 13.992 per dolar AS.

Adapun di pasar spot, Jumat pagi ini, kurs rupiah dibuka di level Rp 13.995 per dolar AS atau melemah 22 poin dibanding posisi sebelumnya Rp 13.973 per dolar AS.

Menurut analis ekonomi Samuel Samuel Aset Manajemen Lana Soelistianingsih, nilai tukar (kurs) rupiah kemungkinan bergerak melemah karena pesimisme yang kembali muncul pada pelaku pasar atas penyelesaian perang dagang Amerika Serikat (AS) dan Cina. "Kemungkinan kurs rupiah melemah karena isu perang dagang AS-China," ujar Lana di Jakarta, Jumat.

Kendati belum ada pernyataan resmi, tetapi pernyataan Presiden Donald Trump bahwa tidak ada pertemuan tingkat tinggi dengan Presiden Cina Xi Jinping, seperti mengkonfirmasi potensi kebuntuan pembicaraan mengenai kesepakatan dagang tersebut pada saat ini. 

Efek perang dagang antara AS dan Cina terhadap perdagangan global, kata Lana, mulai terlihat. Neraca transaksi berjalan Jepang misalnya, mencatatkan surplus pada Desember 2019, semakin kecil sejak empat bulan terakhir. Penurunan surplus tersebut terutama berasal dari neraca barang yaitu ekspor-impor Jepang.

Dia mengatakan kekhawatiran utama efek perang dagang AS-Cina berdampak pada melambatnya ekonomi global. Dana Moneter Internasional (IMF) juga merevisi proyeksi turun pertumbuhan ekonomi global dari 3,3 persen menjadi 3,1 persen untuk 2019.

"Kurs rupiah kemungkinan melemah ke tingkat Rp 13.980 per dolar AS sampai Rp 14.000 per dolar AS," kata Lana.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement