Senin 04 Feb 2019 19:52 WIB

AFPI Kembangkan Pusat Data Fintech

Pusat data bertujuan untuk mendata calon peminjam bermasalah.

Rep: Iit Septyaningsih/ Red: Friska Yolanda
Ilustrasi Fintech ( Financial Technology)
Foto: Republika/Mardiah
Ilustrasi Fintech ( Financial Technology)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) menyatakan tengah mengembangkan pusat data fintech. Pusat data ini akan menyimpan data nasabah, terutama untuk mengindikasi peminjam nakal. Jika peminjam tidak melunasi utang dalam 90 hari, maka akan tercatat pada pusat data fintech sebagai peminjam bermasalah.

"Tujuan dari pusat data Fintech adalah mengurangi risiko agar kita bisa mengetahui siapa saja calon peminjam yang memiliki pinjaman berlebih dan kemudian calon peminjam yang melewati masa pinjaman jatuh temponya," ujar Wakil Ketua Umum AFPI Sunu Widyatmoko di Jakarta, Senin (4/2).

usat data tersebut juga untuk menambah informasi sebagai fintech guna menganalisa informasi. "Proyek (pusat data) ini sedang berjalan, proses pengembangannya sedang berjalan. Harapan kita tidak terlalu lama," kata Sunu.

AFPI juga telah membentuk komite etik yang akan mengawasi pelaksanaan kode etik operasional atau code of conduct (CoC) Fintech Peer to Peer (P2P) Lending atau dikenal sebagai pendanaan online. Hal tersebut akan melindungi konsumen, seperti di antaranya larangan mengakses kontak, dan juga penetapan biaya pinjaman maksimal pinjaman. Dalam kode etik tersebut, AFPI menetapkan total biaya pinjaman tidak boleh lebih dari 0,8 persen per hari dengan penagihan maksimal 90 hari.

Baca juga, Siap Tindak Anggota Bermasalah, AFPI Tunggu Data LBH

Selanjutnya, untuk memitigasi peredaran pinjaman online ilegal, Asosiasi Fintech akan menerapkan sertifikat lembaga penagihan. Di dalamnya diatur pelarangan penyalahgunaan data nasabah dan kewajiban melaporkan prosedur penagihan.

“Keberadaan komite etik dan langkah-langkah perlindungan ini sekaligus menegaskan komitmen pelaku usaha dalam menerapkan standar praktik bisnis yang bertanggung jawab untuk melindungi nasabah maupun penyelenggara. Munculnya peraturan tersebut menjadi bukti bahwa para pelaku usaha fintech P2P lending ingin membangun industri fintech dalam negeri lebih baik ke depannya," tutur Sunu.

Ketua Harian AFPI Kuseryansyah menambahkan, asosiasi pun telah menyiapkan perangkat untuk melindungi pelanggan pendanaan online. Dengan menyediakan Posko Pengaduan Layanan Pendanaan Online yang dapat diakses melalui call center maupun email. 

“Ini sebagai bukti AFPI ingin melindungi pelanggan dan ingin memajukan industri Fintech Pendanaan Online, asosiasi berinisiatif menyediakan Posko Pengaduan Layanan Pendanaan Online. Diharapkan dengan upaya-upaya ini dapat memberikan perlindungan kepada nasabah maupun penyelenggara fintech," jelasnya.

Sejak Desember 2018, sebanyak 28 pengaduan telah masuk ke AFPI lewat posko pengaduan. Dua di antara fintech yang diadukan telah terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan OJK (OJK) dan AFPI.

Sebagai informasi, OJK mencatat saat ini sudah ada 99 perusahaan Fintech Pendanaan yang terdaftar. Secara keseluruhan, para pelaku fintech tersebut telah melakukan layanan lebih dari sembilan juta transaksi pada lebih dari tiga juta masyarakat di Indonesia.

Masyarakat yang diberi pendanaan mayoritas mereka yang belum dapat mengakses layanan keuangan seperti bank, multifinance, yakni berasal dari kelompok pekerja, petani, nelayan, pengrajin, serta UMKM. Fintech Pendanaan yang terdaftar di OJK tersebut sudah melayani pendanaan online sebanyak Rp 22 triliun per akhir 2018.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement