REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) akan mengatur anggotanya, hanya boleh bekerja sama dengan petugas dan lembaga penagihan yang telah tersertifikasi terkait proses penagihan kepada nasabah peminjam. Hal ini untuk menghindari adanya penagihan yang menimbulkan ketidaknyamanan bagi nasabah.
"Ke depannya, anggota AFPI hanya boleh bekerja sama dengan pihak ketiga yang sudah tersertifikasi," ujar Wakil Ketua Umum AFPI Sunu Widyatmoko kepada wartawan di Jakarta, Senin (4/2).
Ia menjelaskan kalau pihak ketiga itu belum tersertifikasi, maka anggota AFPI dilarang bekerja sama dengan mereka. "Karena kita benar-benar tahu bahwa semua permasalahan yang muncul saat ini adalah masalah penagihan," ujar Sunu.
Baca juga, Siap Tindak Anggota Bermasalah, AFPI Tunggu Data LBH
Dalam rangka memitigasi peredaran pinjaman online ilegal, AFPI akan menerapkan sertifikat lembaga penagihan. Dalam penerapan tersebut diatur pelarangan penyalahgunaan data nasabah dan kewajiban melaporkan prosedur penagihan.
Wakil Ketua Umum AFPI memandang bahwa perlindungan konsumen fintech pendanaan online sebagai hal yang sangat serius, sehingga perlu mendapat informasi secara langsung dari pihak-pihak terkait secara lugas dan transparan. Dengan demikian asosiasi dapat mengambil tindakan administratif secara tegas, apabila terbukti telah terjadi pelanggaran.
AFPI juga telah membentuk komite etik yang akan mengawasi pelaksanaan kode etik operasional atau code of conduct (CoC) Fintech Peer to Peer (P2P) Lending atau dikenal sebagai pendanaan online. Hal tersebut akan melindungi konsumen, seperti di antaranya larangan mengakses kontak, dan juga penetapan biaya pinjaman maksimal pinjaman.