REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengingatkan pemerintah untuk mencermati potensi inflasi dari gejolak harga bahan pangan dan harga diatur pemerintah. Ini lantaran musim hujan kerap mengganggu ketersediaan pasokan dan berujung pada kenaikan harga di konsumen. Begitu pula dengan harga BBM bersubsidi yang saat ini masih ditahan kenaikannya oleh pemerintah.
"Komoditas yang memiliki pengaruh besar ke inflasi pada awal tahun biasanya beras. Hingga Februari, panen raya belum merata di semua wilayah," kata Bhima.
Dia mengatakan, inflasi Januari 2019 yang sebesar 0,32 persen relatif rendah. Hal ini disebabkan harga minyak mentah turun dan berada di bawah level 65 dolar AS per barel. Penurunan harga minyak kemudian membuat harga bensin nonsubsidi ikut turun. Selain itu, normalisasi harga tiket angkutan setelah libur tahun baru juga mendorong deflasi.
"Angkutan udara berkontribusi terhadap inflasi meskipun relatif kecil, bisa ditutupi oleh turunnya tarif angkutan darat dan laut setelah libur tahun baru. Namun, efek kenaikan tarif maskapai penumpang, dan kargo plus bagasi bisa memicu inflasi transportasi pada Februari 2019," kata Bhima.
Selain itu, kebijakan terkait dengan harga BBM dan tarif listrik bersubsidi belum bisa dipastikan terutama setelah masa pemilu. Ini berkaitan dengan defisit transaksi berjalan dari sektor migas dan kondisi keuangan BUMN penugasan yakni Pertamin dan PLN. Jika BBM dan tarif listik naik, dia meyakini inflasi dari kelompok harga diatur pemerintah akan terdorong naik.
"Dengan skenario kenaikan harga 5 sampai 10 persen, inflasi bisa naik jadi 4 sampai 4,25 persen (yoy). Karena dampak multiplier-nya ke bahan kebutuhan pokok, perumahan, dan sandang," kata Bhima.