Kamis 31 Jan 2019 17:29 WIB

Defisit Neraca Perdagangan Baja Diprediksi Menurun

Produksi industri hulu kini sudah dapat memenuhi kebutuhan industri otomotif.

Rep: Adinda Pryanka / Red: Friska Yolanda
 Pelepasan ekspor baja struktur ke Srilanla dan plat baja ke Australia  di PT Gunung Raja Paksi (GRP), Cikarang Barat, Bekasi, Kamis (31/1).
Foto: Republika/Adinda Pryanka
Pelepasan ekspor baja struktur ke Srilanla dan plat baja ke Australia di PT Gunung Raja Paksi (GRP), Cikarang Barat, Bekasi, Kamis (31/1).

REPUBLIKA.CO.ID, BEKASI -- Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita optimistis, defisit pada neraca perdagangan baja pada tahun ini dapat mencapai 4,4 miliar dolar AS. Jumlah tersebut turun dari 4,5 miliar dolar AS pada 2018 dan 4,6 miliar dolar AS pada 2017. 

Optimistis tersebut karena Kementerian Perdagangan (Kemendag) sudah mempertemukan antara pelaku industri hulu, hilir dan para importir. Menurut Enggar, pihaknya meminta agar mereka hanya mengimpor bahan baku industri yang memang tidak dapat disediakan industri dalam negeri. "Catatannya, industri hulu juga jangan sembarangan menaikkan harga sewenang-wenang," tuturnya dalam acara pelepasan ekspor baja di Cikarang, Bekasi, Kamis (31/1).

Enggar menjelaskan, kebijakan tersebut merupakan implementasi dari kebijakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menjaga produksi dalam negeri. Kemendag ditugaskan untuk mencari celah menahan laju impor tanpa melanggar perjanjian yang berpotensi disengketakan di World Trade Organization (WTO).

Selain itu, Enggar menambahkan, pemerintah meminta agar produsen memenuhi kebutuhan dalam negeri sebagai prioritas. Sebab, begitu produk impor sudah masuk ke pasar Indonesia, cenderung sulit dihentikan. 

Melalui pertemuan tersebut, Enggar optimistis para pengusaha dapat merebut market share yang sementara ini diambil impor sembari terus meningkatkan ekspor. Sebab, sejumlah industri hulu seperti PT PT Gunung Raja Paksi (GRP) masih underutilize atau belum dimanfaatkan secara penuh. "Stok mereka masih banyak," ujarnya. 

Dengan memprioritaskan kebutuhan dalam negeri, setidaknya ada dua manfaat yang akan dirasakan industri dan pemerintah. Pertama, penghematan devisa. Kedua, utilisasi mereka meningkat yang berdampak pada penerimaan perusahaan. 

Enggar menjelaskan, produksi industri hulu kini sudah dapat memenuhi kebutuhan industri otomotif dan elektronika. Pemanfaatan untuk industri kapal masih dalam tahap perundingan, tapi para produsen baja sudah menyatakan kesanggupannya. 

Terkait keluhan harga yang masih mahal, Enggar juga memastikan sudah diselesaikan dalam pertemuan tersebut. Sehingga, baik industri hulu maupun hilir sudah sama-sama menyesuaikan harga dan ketersediaan. Jangka panjangnya, mereka juga dapat bersaing di pasar internasional karena harga sudah kompetitif dengan negara lain. 

Tidak hanya untuk perusahaan besar, Enggar menilai, produsen baja lokal juga akan memenuhi kebutuhan usaha kecil dan menengah. PT GRP, misalnya, melayani pembelian dalam kuantitas kecil, yakni satu lembar pelat baja. "Mereka juga lagi develop sistem online, sehingga memudahkan transaksi," tuturnya. 

Sebelumnya Kementerian Perindustrian (Kemenperin) juga optimistis, ekspor baja dari Indonesia akan terus meningkat. Salah satu faktor pendukungnya, pabrik baja stainless steel di kawasan industri Morowali yang masih memiliki ruang ekspansi.

Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika (ILMATE) Kemenperin Harjanto mengatakan, di Morowali, total kapasitas produksi smelter nickel pig iron dapat mencapai 2 juta ton per tahun dan 3,5 juta ton stainless steel per tahun. "Nilai ekspornya mencapai 2 miliar dolar AS pada tahun 2017 dan naik menjadi 3,5 miliar dolar AS di 2018," katanya dalam rilis yang diterima Republika.co.id, Senin (28/1).

Harjanto menargetkan, kawasan tersebut mampu menghasilkan 4 juta ton baja nirkarat atau stainless steel per tahun serta memiliki pabrik baja karbon berkapasitas 4 juta ton per tahun. Apabila produksi stainless steel tercapai 4 juta ton per tahun, Indonesia dapat menjadi produsen kedua terbesar di dunia atau setara produksi di Eropa.

Harjanto menambahkan, peluang ekspor produk baja Indonesia semakin membesar seiring dengan terbukanya pasar tujuan. Khususnya, di Cina, Asia Tenggara, dan negara-negara yang membuat perjanjian bilateral dengan Indonesia.

Dengan kondisi ini, Harjanto menilai, Kemenperin terus memacu pengembangan industri baja. Ia menyebutkan, industri baja sebagai sektor hulu, disebut juga mother of industries. "Sebab, industri ini berperan penting untuk memasok kebutuhan bahan baku dalam mendukung proyek infrastruktur dan menopang kegiatan sektor industri lainnya," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement