REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Keberadaan koperasi sebagai soko guru perekonomian nasional memiliki peran yang vital sebagaimana yang menjadi amanat konstitusi. Maka dari itu, sangat diperlukan sebuah regulasi koperasi yang utuh yang mampu menjawab dinamika kehidupan berbangsa dan negara.
Untuk itu, Muhammadiyah melalui Majelis Ekonomi dan Kewirausahaan Pimpinan Pusat Muhammadiyah (MEK-PPM), meminta kepada pemerintah dan DPR, agar segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perkoperasian yang selama ini sudah bertahun-tahun tiada kejelasannya. Selain itu, MEK-PPM juga mendukung adanya masuknya substansi koperasi syariah dalam RUU Perkoperasian dalam pasal-pasal yang tertera dalam RUU tersebut, hal itu tidak lepas dari fakta yang ada tentang berkembangnya koperasi syariah di masyarakat.
“Maka atas dasar semangat dan nilai-nilai demokrasi yang ada selama ini, Muhammadiyah sependapat jika substansi koperasi syariah itu ada dalam UU nantinya ketika disahkan,” kata Sekretaris Umum MEK-PPM, Mukhaer Pakkana dalam kajian kebijakan publik RUU Perkoperasian yang diselenggarakan oleh MEK-PPM di Gedung PP Muhammadiyah Pusat, Jakarta, Kamis (17/1).
Lebih jauh, Mukhaer memaparkan, untuk mempertahankan substansi koperasi syariah dalam RUU Perkoperasian, pemerintah dan DPR bisa belajar dengan regulasi sebelumnya, yakni UU Perbankan Syariah. “Ketika UU Perbankan Syariah disahkan, ternyata mendorong maju dan berkembangnya praktik bisnis syariah di Tanah Air dan mampu memberikan kontribusi terhadap perekonomian nasional,” ujar Mukhaer dalam rilis yang diterima Republika.co.id, Kamis (17/1).
Belajar dari pengalaman itu, kata Mukhaer, tentunya dengan adanya pengembangan koperasi syariah akan mendorong sektor riil di akar rumput akan semakin berkembang. “Untuk itulah kami berharap kepada berbagai pihak yang terlibat dalam merumuskan RUU tersebut bisa memperhatikan semangat dan nilai tersebut. Apalagi negara-negara lain lebih dulu mengembangkan sistem ekonomi syariah,”ucap Mukhaer.
Kemudian dalam kajian tentang perkoperasian, MEK-PPM memberikan pandangan bila negara tak boleh tak hadir di tengah-tengah masyarakat, dengan cara menunda atau tidak sensitif sama sekali dalam pembahasan RUU Perkoperasian. Apalagi sejauh ini, koperasi dinilai sebagai wadah ekonomi masyarakat dalam akses perkuatan permodalan dan kewirausahaan.
“Jika dari segi regulasi saja itu selalu berhenti atau jalan di tempat dan tidak pernah diparipurnakan di DPR, lantas sampai kapan koperasi Indonesia bisa maju dan berkembang seperti negara-negara lain,” ujar Mukhaer.
Ia mengemukakan, ketika koperasi di suatu negara maju dan berkembang pesat, memiliki dampak yang sangat signifikan terhadap perekonomian masyarakat, khususnya penyerapan tenaga kerja. “Tentunya, pemerintah harus sadar dan lebih melihat cerdas realitas ini untuk digunakan dalam penguatan kebijakan publik,” tuturnya.
Berdasarkan fenomena dan dinamika dalam RUU Perkoperasian tersebut, Mukhaer menegaskan dalam kesimpulan kajian, Muhammadiyah akan selalu mengawal pengesahan RUU Perkoperasian untuk menjadi UU. “Muhammadiyah siap untuk berdialog menjelaskan kepada publik dan pemerintah arti pentingnya substansi koperasi dalam regulasi tersebut. Sehingga, lahirnya UU Perkoperasiaan nantinya sebagai ikhtiar kebangsaan dalam ber-fastabiqul khairat (berlomba-lomba dalam kebaikan),”tandas Mukhaer.