REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tiga Faktor Penentu Peningkatan Provitas Padi diperkirakan terpenuhi tahun ini. Dengan demikian, tahun ini produktifitas padi diprediksi meningkat.
Kepala Balai Balai Besar Penelitian Padi (BB Padi) Priatna Sasmita menjelaskan, ketiga hal itu meliputi faktor genetik, faktor lingkungan, serta interaksi faktor genetik dengan lingkungan. Menurut dia, upaya peningkatan produksi dari aspek genetik saat ini hampir sebagian besar telah dilakukan petani di Indonesia melalui penggunaan berbagai varietas unggul potensi hasil tinggi yang telah teruji di masing-masing sentra.
"Serta dengan pengelolaan lingkungan melalui perbaikan berbagai teknologi budidaya dan adaptasi spesifik lokasi (menginteraksikan kedua faktor varietas dan lingkungan)," kata Priatna.
Namun demikian, kata Pariatna, masih ada faktor lingkungan lain yang sulit dikontrol manusia khususnya iklim. Faktor itu meliputi curah hujan, intensitas cahaya, temperatur dan kelembaban yang sangat menentukan pertumbuhan tanaman terutama fase generatif yang dibutuhkan untuk akumulasi fotosintat optimal pada proses pengisian bulir gabah.
Kondisi lingkungan ideal untuk fase pertumbuhan generatif padi secara umum meliputi Intensitas (kualitas) cahaya tinggi, temperatur relatif tinggi, serta kelembaban dan curah hujan rendah yang biasanya terjadi mulai bulan Maret-April.
Selain efek fisiologis yang kondusif terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman, kondisi di atas secara tidak langsung juga dapat mengurangi perkembangan populasi hama dan penyakit tanaman di lapang.
"Oleh karena itu prediksi pergeseran waktu tanam padi periode Oktober 2018 -Maret 2019 ke Januari 2019 cukup beralasan berimplikasi kondusif terhadap peningkatan produktivitas tanaman padi secara signifikan.
Gold Revolution Picu Peningkatan Produksi Padi 2019
Apa yang disampaikan Priatna sejalan dengan perkiraan Ahli Padi Indonesia Soemitro. Menurut Soemitro, produksi padi pada April 2018 diperkirakan meningkat drastis. Kenaikan diprediksi mencapai 30 juta ton (GKG) senilai Rp 150 triliun.
Ia menjelaskan, prediksi ini didasarkan pada Elnino 2018 yang merupakan kategori kuat. Ini identik dengan Elnino yang terjadi pada 2015.
"Produksi padi 2016 terjadi peningkatan karena Elnino 2015. Hal ini membuat terjadinya pergeseran tanam dari Oktober 2015 – Maret 2016 menjadi Januari - April 2016," kata Soemitro dalam diskusi rutin bersama Pegiat Petani Milenial, Jakarta, Rabu (9/1).
Dengan pergeseran masa tanam menjadi Januari - April, petani akan memanfaatkan tujuh keajaiban solar energi yang memicu produksi per hektare mengalami kenaikan tiga kali lipat.
Ketujuh keajaiban solar energi itu di antaranya tanaman bebas hama; proses penyerbukan sempurna sehingga bagai berisi; proses asimilasi fotosintesis yang sukses sehingga mencegah munculnya parasit; terjadi efesiensi pemupukan yang meningkat empat kali lipat; saat matahari bersinar menyebabkan proses pengeringan gabah menjadi, cepat, mudah dan murah dan tidak ada gabah yang busuk; dan kualitas gabah yang dihasilkan adalah kualitas premium, sehingga harga jual di sawah di atas HPP.
Soemitro memperkirakan luas lahan yang akan mengalami perubahan produksi menyusul pergeseran waktu tanam seluas 5 juta hektare dari 8,5 juta hektare. "Kenaikannya saja 30 juta ton (GKG), atau setara Rp 150 triliun. Inilah bentuk pergeseran dari green revolution menjadi gold revolution," tutup Soemitro.