Selasa 08 Jan 2019 11:02 WIB

Rupiah Berpotensi Kembali ke Posisi Rp 13.800 per Dolar AS

Pada perdagangan pagi ini rupiah dibuka di posisi Rp 14.059 per dolar AS

Rep: Idealisa Masyrafina/ Red: Nidia Zuraya
Seorang petugas teller menghitung mata uang rupiah.    (ilustrasi)
Foto: Republika/ Yogi Ardhi
Seorang petugas teller menghitung mata uang rupiah. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Nilai tukar rupiah diperkirakan akan terus menguat hingga tembus Rp 13.800 per dolar AS. Pada Selasa (8/1) rupiah menguat 0,53 persen dibandingkan kurs hari sebelumnya menjadi Rp 14.031 per dolar AS, berdasarkan kurs JISDOR Bank Indonesia.

Sementara itu pada kurs Bloomberg, Selasa (8/1), dolar AS memulai perdagangan pasar spot di posisi Rp 14.059 per dolar AS. Rupiah menguat 0,16 persen dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya. sepanjang hari ini rupiah diperkirakan akan bergerak di kisaran Rp 14.002 - 14.059 per dolar AS.

Menurut Ekonom Indef, Bhima Yudhistira, faktor perkasanya rupiah disebabkan dari pelemahan ekonomi global di AS dan Cina membuat investor memindahkan dananya ke negara berkembang.

"Rupiah berpotensi bertahan di 13.800-14.000 jika data ekonomi global semakin memburuk," ujar Bhima kepada Republika.co.id, Selasa (8/1).

Sebagai indikator pelemahan ekonomi global, dolar AS melemah terhadap hampir seluruh mata uang dominan lainnya. Dollar index menurun -1,25 persen dalam sebulan terakhir sehingga berada di level 96.

"Kondisi ini mirip dengan post krisis global 2008 dimana resesi AS menjadi berkah bagi negara berkembang karena masuknya capital inflow yang cukup deras," jelas Bhima.

Disisi yang lain yield atau imbal hasil surat utang Indonesia semakin menarik asing karena menyentuh level 8,1 persen untuk tenor 10 tahun. Yield spread antara SBN dan treasury bond semakin lebar, sehingga investor akhirnya berburu return yang tinggi. Aliran dana di pasar modal juga cukup deras dalam seminggu terakhir, investor asing melakukan pembelian bersih saham Rp 1,88 triliun.

Kendati berada dalam tren positif, ia berpendapat akan lebih baik jika rupiah tidak menguat terlalu cepat. "Yang penting stabil di Rp 13.800, terlalu cepat menguat juga tidak bagus bagi dunia usaha karena kontrak ekspornya bisa rugi," kata Bhima.

Pada peergerakan Rupiah sepanjang pekan lalu, adanya rilis inflasi yang dianggap cukup stabil membuat laju Rupiah mampu mengalami kenaikan di samping sejumlah sentimen lainnya.

Analis CSA Research Institute Reza Priyambada menjelaskan, meski BPS merilis inflasi berdasarkan kelompok pengeluaran, inflasi terbesar terjadi pada bahan makanan sebesar 1,45 persen dan transportasi, komunikasi serta jasa keuangan sebesar 1,28 persen namun, secara total inflasi Desember cukup rendah. Bahkan secara tahunan di bawah perkiraan Bank Indonesia (BI) di level ±4 persen.

Pada pekan ini, lanjut Reza, rupiah akan terus menguat, apalagi jika kondisi global cukup mendukung dengan pelemahan dolar AS. Di sisi lain, kondisi dari dalam negeri juga cukup kondusif terutama setelah BI kembali menegaskan akan tetap mengarahkan kebijakan moneter untuk lebih prostabilitas demi menjaga stabilitas inflasi dan nilai tukar Rupiah.

"Empat instrumen lain yakni makroprudensial, pedalaman pasar keuangan, sistem pembayaran dan ekonomi dan keuangan syariah akan disetir untuk lebih pro pertumbuhan yang akomodatif," kata Reza.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement