Senin 07 Jan 2019 14:54 WIB

Prospek Emiten Kosmetik pada 2019

Prospek emiten barang konsumsi tergantung pada penggunaannya di tingkat rumah tangga

Rep: Lida Puspaningtyas/ Red: Nidia Zuraya
Kosmetik (Ilustrasi)
Kosmetik (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Emiten-emiten yang bergerak di bidang kosmetik belum mendapat perhatian khusus cukup signifikan. Perusahaan kosmetik atau perawatan diri masih menjadi porsi kecil dalam kategori barang konsumsi terdaftar di bursa saham.

Perusahaan yang telah terdaftar di bursa salah satunya PT Martina Berto atau Martha Tilaar dan PT Unilever. Analis Saham Reza Priyambada menyampaikan banyak hal mempengaruhi performa emiten selama setahun penuh.

Mulai dari minat atau permintaan masyarakat terhadap produk, skala produksi dan jangkauan pasar, harga jual, marjin keuntungan. Selain itu biaya produksi, biaya distribusi maupun iklan, biaya bahan baku, juga persaingan pasar.

Untuk menguji ketahanan emiten, produk brand lokal harus bisa memenuhi apa yang diinginkan oleh masyarakat dan bisa menciptakan trennya sendiri. Selain itu menyesuaikan tingkat produksi dan pemasaran.

"Apalagi ini berkaitan dengan passion orang, misal MBTO (Martina Berto) melihat tren 2019 untuk kosmetik wajah lebih cocok yang terang, maka dia akan membuat produk seperti itu, lalu produksinya mencukupi," kata dia.

Jangan sampai pemasaran tinggi namun produksi tidak mencukupi. Pengamat Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira Adhinegara juga menyampaikan masuknya emiten pada jajaran LQ45 pun belum menjamin ketahanan.

Ia mengatakan LQ45 setaun ini hanya naik 0,47 persen. Emiten saham dengan keuntungan besar bahkan datang dari saham kecil non bluechip.

Maka Bhima menilai prospek emiten barang konsumsi tergantung pada penggunaannya di tingkat rumah tangga. "Sekarang pertumbuhan konsumsi cuma rata-rata lima persen, jika melihat survei Nielsen, kesimpulannya masih sama bahwa pendapatan masyarakat tidak sejalan dengan naiknya harga barang," kata dia.

Masyarakat lebih mengirit konsumsi meski tetap membeli karena kebutuhan. Tahun 2019 ada peluang nilai rupiah menguat dan mengembalikan tingkat konsumsi. Bhima mengatakan ada faktor terbaru perlambatan ekonomi AS dan Cina.

"Dana dari investor asing mulai berbondong-bondong ke negara berkembang. Rupiah pagi ini langsung jadi Rp 14.000. Jadi LQ45 tahun ini bisa lebih bagus," kata dia.

Jika melihat saat krisis di AS pada 2008, uang masuk ke Indonesia cukup besar. Hal ini pun diharapkan akan kembali menguatkan tingkat konsumsi. Sesuai target pemerintah menjaga tingkat konsumsi di angka lima persen.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement