REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Real Estate Indonesia (REI) menyatakan tren kenaikan suku bunga dan pengetatan likuiditas bank bisa semakin menurunkan industri properti. Pasalnya, hal itu memengaruhi pengembang (developer) serta konsumen.
"Dari sisi developer, ada beban bunga, maka bila suku bunga naik maka harga (properti) pun harus dinaikkan. Kalau harga dinaikkan, berarti produksi pun diubah misalnya dari rumah besar menjadi rumah kecil," ujar Ketua Umum REI Soelaeman Soemawinata kepada Republika.co.id, Senin, (17/12).
Ia mencontohkan, perubahan produksi misalnya, rumah harga Rp 400 juta yang seharusnya dibangun tipe 45 menjadi hanya tipe 40. "Alasannya karena beban bunga membuat biaya produksi meningkat, sementara dari sisi konsumen, daya belinya menurun karena KPR (Kredit Pemilikan Rumah) harganya naik, sehingga kemampuan mencicil dia jadi turun," tutur pria yang akrab disapa Eman tersebut.
Maka ia berharap, tahun depan pergerakan bunga lebih stabil. Apalagi, sektor properti juga masih lesu terhantam tekanan global.
"Bunga kalau bisa bertahan di level sekarang. Sekarang suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) sebesar enam persen, lalu bunga (KPR) bank tetap 12 sampai 13 persen," ujar Eman.
Menurutnya, besaran bunga tersebut harus ditahan untuk memberikan kesempatan kepada industri properti bergerak. Apalagi, kata dia, 2019 merupakan tahun politik.
"Sebenarnya tahun politik tidak mengerikan bagi industri, yang mengerikan yakni perekonomian yang terus melemah. Bila likuiditas ketat, bunga tinggi, properti akan mati, sehingga pengangguran bertambah dan investasi baru tidak terjadi," tegas Eman.
Sebaliknya, kata dia, bila suku bunga stabil maka ada harapan bagi sektor properti untuk tumbuh. "Sebenarnya sudah banyak insentif dari pemerintah tapi belum berefek signifikan ke dunia usaha. Baru berefek spirit, jadi kita harap bunga stabil untuk perbaiki yang lain-lain," harapnya.