Sabtu 15 Dec 2018 20:30 WIB

ISEF 2018: Dari Ekosistem Halal Hingga Remitensi

Tujuan ISEF ini untuk membentuk eksosistem halal di Indonesia.

Deputi Gubernur Bank Indonesia Sugeng menyampaikan pidato pembuka pada acara seminar bertajuk Membuka Akses Layanan Keuangan Melalui Optimalisasi Layanan Remiten, pada rangkaian acara  Indonesia Shari’a Economic Festival ke 5 (ISEF), di Surabaya, Jumat (14/12).
Foto: darmawan / republika
Deputi Gubernur Bank Indonesia Sugeng menyampaikan pidato pembuka pada acara seminar bertajuk Membuka Akses Layanan Keuangan Melalui Optimalisasi Layanan Remiten, pada rangkaian acara Indonesia Shari’a Economic Festival ke 5 (ISEF), di Surabaya, Jumat (14/12).

REPUBLIKA.CO.ID Oleh: Lida Puspaningtyas

Penyelenggaraan Indonesia Sharia Economic Festival (ISEF) 2018 berhasil meraup nilai penandatanganan kerja sama sebesar Rp 6,7 triliun. Nilai tersebut akan bertambah seiring dengan kesepakatan yang dimulai pada saat bussiness matching selama penyelenggaraan acara.

Kepala Departemen Ekonomi dan Keuangan Syariah Bank Indonesia (BI) M Anwar Bashori mengatakan, salah satu tujuan penyelenggaraan ISEF 2018 adalah membentuk ekosistem halal. Hal ini bisa dicapai dengan kolaborasi dari rantai-rantai nilai halal yang melibatkan sejumlah sektor.

"Jadi, kita pertemukan pelaku dari berbagai sektor, produsennya, lembaga keuangan, pembiayaan, hingga pembeli semua bisa melakukan kerja sama, saling silaturahim," kata Anwar, Jumat (14/12).

Tercatat 14 kesepakatan kerja sama yang diresmikan selama gelaran. Anwar menuturkan, kontrak kesepakatan ini adalah hasil dari penjajakan yang juga dilaukan sebelum gelaran ISEF 2018.

Jenis kontrak atau kesepakatan, di antaranya kerja sama sindikasi pembiayaan perbankan syariah untuk pembangunan infrastruktur jalan tol. Salah satunya dilakukan perbankan syariah seperti Bank Syariah Mandiri, BNI Syariah, Bank Mega Syariah, BPD Aceh, dan BPD Jawa Timur senilai Rp 2 triliun untuk PT Jakarta Toll Road Development.

Selain itu, terdapat akad dan komitmen pembiayaan syariah senilai Rp 2,4 triliun pada enam debitur dari Bank DKI, unit usaha syariah. Ada juga kesepakatan spesifik pada sektor usaha, seperti kerja sama pengadaan beras, pembelian produk makanan hasil produksi, pertanian, dan mode.

Tak hanya itu, sindikasi ini juga menyasar untuk pembangunan masjid dan menara Majelis Ulama Indonesia (MUI), usaha kecil menengah (UKM), dan pembebasan transaksi riba di setiap kabupaten/kota di Indonesia oleh Bank Muamalat senilai Rp 600 miliar. Dana diberikan kepada Lembaga Wakaf MUI.

Layanan remitensi

Bank Indonesia sedang menyiapkan ketentuan remitansi dengan dana berakhir di rekening perbankan. Sasaran utamanya adalah pekerja migran Indonesia dan keluarganya. Melalui layanan ini, dana yang dikirim dari luar negeri ke dalam negeri tidak dalam bentuk tunai.

Kepala Departemen Elektronifikasi dan GPN Pungky Wibowo menjelaskan, dengan tersedianya sistem ini semua dana remitansi harus berakhir di saving account dan melalui Gerbang Pembayaran Nasional (GPN).

"Tujuan utamanya tentu agar biaya-biaya remitansi bisa lebih murah dan efisien, kita memang ingin mensinergikan pelaku industri finansial inklusi ini," kata Pungky dalam sesi ISEF.

Salah satu tujuan utama dari layanan ini adalah mencapai target inklusi keuangan hingga 75 persen pada 2019. Pada akhir 2017, inklusi keuangan terbilang rendah, hanya mencapai 49 persen.

Pungky memperkirakan inklusi keuangan akhir tahun ini sekitar 63 persen. Dengan upaya menggiring pada layanan keuangan, maka inklusi bisa ditingkatkan.

Berdasarkan data Bank Indonesia, pekerja migran Indonesia dan keluarganya masih banyak menggunakan layanan pengiriman dana remintansi secara tunai. Sekitar tujuh persen remitansi bahkan dititip pada orang yang pulang kampung.

Namun, sejauh ini data remitansi belum tercatat dengan baik oleh BI. Banyaknya jumlah migran dan uang yang mengalir ke dalam negeri diyakini bisa berdampak positif dari sisi makro dan kemudian memengaruhi nilai tukar rupiah dengan baik.

Deputi Gubernur BI, Sugeng mengatakan, remitansi dari pekerja migran Indonesia menghasilkan devisa cukup besar, mencapai 8,8 miliar dolar Amerika Serikat. Nilai ini setara dengan satu persen dari produk domestik bruto (PDB) Indonesia. Jika angka ini bisa ditingkatkan mencapai empat kali lipat, remitensi akan berdampak signifikan pada defisit neraca berjalan.

"Meski 62 persen sistem remitansi telah berjalan secara non tunai, sebesar 30 persen dana remitansi masih tidak masuk ke rekening sehingga ditarik secara tunai seluruhnya," kata Sugeng.

Dia mengatakan, biaya remitensi Indonesia tergolong tinggi dibandingkan negara lain, yakni 7,8 persen. Meski demikian, BI berkeyakinan dengan perkembangan teknologi yang ada maka perbankan dan perusahaan teknologi finansial (tekfin) bisa berkolaborasi menekan biaya tersebut agar lebih rendah, dan diupayakan di bawah lima persen.

Menurut Sugeng, insiatif penguatan remitansi telah dimulai BI sejak awal 2017. Salah satu caranya dengan optimalisasi agen layanan keuangan digital (LKD) untuk memberikan jasa keuangan pada masyarakat di seluruh pelosok Indonesia.

Kemudian, BI juga membuat skema remitansi agar lebih efisien, cepat diterima, dan memudahkan akses pada tempat pengiriman uang. Ada tiga model bisnis yang diuji coba, yakni mobile to mobile, agent to agent, dan host to host.

"Hasilnya secara umum, tujuan yang ingin diraih dapat terealisasi, yakni pengiriman dana dengan tujuan akhir di rekening berjalan dengan mudah, murah, dan cepat," ujarnya.

Ia menambahkan, tidak hanya pada pekerja migran, potensi pengembangan jaringan remitansi juga datang dari pesantren. Unit usaha yang dimiliki pesantren, misalnya, minimarket atau pengelola dana sosial dapat dikembangkan jadi titik penerima dana remitansi.  (ed: debbie sutrisno)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement