Jumat 14 Dec 2018 18:21 WIB

BI Siapkan Ketentuan Remitansi Nontunai

Lembaga keuangan didorong berkolaborasi untuk optimalisasi layanan remitansi.

Rep: Lida Puspaningtyas/ Red: Friska Yolanda
RemitPro menjadi pemain baru di industri remitansi atau jasa pengiriman uang.
Foto: Dok RemitPro
RemitPro menjadi pemain baru di industri remitansi atau jasa pengiriman uang.

REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Bank Indonesia (BI) sedang menyiapkan ketentuan remitansi dengan dana berakhir di rekening perbankan. Sasaran utamanya adalah pekerja migran Indonesia dan keluarganya. Jadi, dana yang dikirim dari luar negeri ke dalam negeri tidak lagi tunai.

Kepala Departemen Elektronifikasi dan GPN, Pungky Wibowo mengatakan nantinya semua dana remitansi harus berakhir di saving account dan melalui Gerbang Pembayaran Nasional (GPN). Kesempatan ini akan membuka kesempatan agar perusahaan financial technology (fintech) yang juga bermain di remitansi untuk bekerja sama dengan perbankan.

"Tujuan utamanya tentu agar biaya-biaya remitansi bisa lebih murah dan efisien, kita memang ingin mensinergikan pelaku industri finansial inklusi ini," kata Pungky dalam sesi Indonesia Sharia Economic Festival (ISEF) 2018, Jumat (14/12).

Salah satu tujuan besarnya adalah mencapai target inklusi keuangan hingga 75 persen pada 2019. Pada akhir 2017, angkanya baru mencapai 49 persen. Pungky memperkirakan inklusi keuangan akhir tahun ini sekitar 63 persen. Dengan upaya menggiring pada layanan keuangan, maka inklusi bisa ditingkatkan.

Menurut data Bank Indonesia, pekerja migran Indonesia dan keluarganya masih banyak menggunakan layanan pengiriman dana remintansi secara tunai. Sekitar tujuh persen remitansi bahkan dititip pada orang yang pulang kampung.

Ia mengakui data-data remitansi belum tercatat dengan baik. Sehingga potensinya bisa saja lebih besar. "BI tentu sangat peduli dengan hal ini karena dari sisi makro akan mempengaruhi nilai tukar," kata Pungky.

Deputi Gubernur BI, Sugeng, mengatakan remitansi dari pekerja migran Indonesia menghasilkan devisa yang besar yakni mencapai 8,8 miliar dolar AS. Ini setara dengan satu persen PDB. Sehingga jika bisa ditingkatkan empat kali lipat, maka akan signifikan mempengaruhi CAD. 

"Meski 62 persen sistem remitansi telah berjalan secara nontunai, sebesar 30 persen dana remitansi masih tidak masuk ke rekening sehingga ditarik secara tunai seluruhnya," kata Sugeng.

Biaya remitansi Indonesia juga masih tergolong tinggi dibanding negara lain yakni sekitar 7,8 persen. Namun BI sangat berkeyakinan bank dan fintech bisa berkolaborasi untuk menekan biaya tersebut agar lebih rendah hingga kurang dari lima persen.

"Fintech juga akan diarahkan ke GPN, kita harap tahun depan sudah bisa diterapkan, tapi tanpa harus diimbau pun seharusnya sudah mulai mengarah ke sana," kata Pungky.

Insiatif penguatan remitansi telah dimulai Bank Indonesia sejak awal 2017. Salah satu caranya dengan optimalisasi agen Layanan Keuangan Digital (LKD) untuk memberikan jasa keuangan pada masyarakat di seluruh pelosok wilayah Indonesia.

Kemudian, BI membuat skema remitansi agar lebih efisien, cepat diterima, dan memudahkan akses pada tempat pengiriman uang. Ada tiga model bisnis yang diuji coba, yaitu mobile to mobile, agent to agent, dan host to host.

"Hasilnya secara umum, tujuan yang ingin diraih dapat terealisasi, yakni pengiriman dana dengan tujuan akhir di rekening berjalan dengan mudah, murah, dan cepat," kata Sugeng.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement