Rabu 12 Dec 2018 17:28 WIB

OJK Hentikan Kegiatan 404 Fintech Ilegal

Masyarakat diminta aktif memahami risiko kewajiban saat berinteraksi dengan p2p.

Rep: Adinda Pryanka / Red: Friska Yolanda
Ilustrasi Fintech ( Financial Technology)
Foto: Republika/Mardiah
Ilustrasi Fintech ( Financial Technology)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengklaim terus melakukan upaya untuk memberantas perusahaan financial technology (fintech) peer to peer (P2P) lending ilegal. Sampai saat ini, setidaknya 404 entitas telah mendapatkan tindakan tegas dari OJK melalui Satuan Petugas Waspada Investasi (SWI).

Ketua SWI Tongam Lumban Tobing mengatakan, pihaknya terus melakukan pemantauan di situs dan aplikasi yang bekerja sama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo). "Apabila tidak terdaftar sesuai landasan hukum, mereka (perusahaan) disebut ilegal," ujarnya dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu (12/12). 

Landasan hukum yang dimaksud adalah Peraturan OJK Nomor 77 Tahun 2016 Tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi. Dalam peraturan itu, disampaikan bahwa setiap penyelenggaraan P2P lending harus mendaftar dan terdaftar di OJK. 

Tongam menjelaskan, pihaknya melakukan rangkaian tindakan untuk membasmi fintech ilegal. Di antaranya membaut laporan ke Bareskrim Polri dan pemblokiran situs web melalui Kemenkominfo. Satgas juga meminta pihak perbankan untuk memutus mata rantai aliran dana fintech ilegal. 

OJK juga bekerja sama dengan Bank Indonesia untuk meminta seluruh sistem pembayaran agar tidak bekerja sama dengan fintech ilegal. Dengan cara ini, diharapkan perusahaan fintech ilegal dapat dihabiskan sampai akar dan tidak ada potensi lagi.

Direktur Pengaturan, Perizinan dan Pengawasan Fintech OJK Hendrikus Passagi mengatakan, tumbuhnya P2P lending di Indonesia tidak terlepas dari pemahaman masyarakat yang masih minim. Kondisi ini membuat masyarakat unbanked (belum terakses dengan bank) dan underserve (membutuhkan uang dalam waktu cepat) membutuhkan P2P lending. 

Hendrikus mengatakan, potensi fintech di Indonesia masih sangat besar. Sebab, sekitar tiga juta penduduk menggunakan layanan fintech dengan jumlah transaksi mencapai sembilan juta kali. "Di balik ini, ada orang-orang berkarakter buruk yang memanfaatkan teknologi," tuturnya. 

Hendrikus berharap, seluruh pemangku kepentingan dapat turut andil dalam mengatasi isu ini. OJK sendiri sudah mengirimkan surat ke perbankan nasional untuk mencegah perusahaan yang mengajukan pembuatan rekening dengan jenis usaha fintech P2P lending. 

Caranya, bank harus meminta surat keterangan legal dari OJK untuk memastikan apakah entitas tersebut adalah fintech legal yang terdaftar POJK atau tidak. "Kalau tidak (terdaftar), bank berhak untuk menolak permohonan tersebut," ucap Hendrikus. 

Hendrikus juga meminta keterlibatan aktif masyarakat dalam memahami risiko, kewajiban dan biaya ketika berinteraksi dengan P2P lending. Ia mengingatkan, keberadaan P2P lending ilegal tidak berada dalam pengawasan pihak manapun, termasuk OJK, sehingga berisiko tinggi bagi konsumennya. 

Hendrikus mengajak masyarakat dapat mengunjungi website OJK dan menghubungi kontak OJK 157 terlebih dahulu sebelum berinteraksi dengan perusahaan P2P lending. Hal ini dapat mencegah potensi kerugian yang dialami masyarakat.

Ke depan, OJK juga akan terus melakukan sosialisasi ke masyarakat bersama para pemangku kepentingan, termasuk Asosiasi Fintech Pendanaan Indonesia (AFPI). Tujuannya, agar literasi masyarakat mengenai kegiatan pinjam meminjam uang dengan berbasis teknologi dapat terus meningkat. 

Apabila ada perusahaan fintech P2P lending yang ketahuan berjalan secara ilegal, OJK dapat mengenakan sanksi sesuai dengan ketentuan POJK 77 Tahun 2016 Nomor 47. "Sanksinya dari peringatan tertulis, denda, pembatasan kegiatan usaha sampai dengan pencabutan tanda daftar izin," ujar Hendrikus.

Baca juga, OJK: 78 Perusahaan P2P Lending Terdaftar

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement