REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Makan bersama Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan Presiden Cina Xi Jinping membawa babak baru pada volatilitas perekonomian global. Mereka sepakat untuk menunda penambahan tarif impor yang berarti angin segar untuk mata uang negara berkembang.
Ekonom INDEF, Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan sentimen ini membuat Rupiah masih berpotensi menguat ke level Rp 14.000. Pertemuan G20 ditutup dengan sinyal positif Cina-AS akan stop naikan tarif per 1 Januari 2019.
Menurut Bhima, investor akan kembali masuk ke negara berkembang khususnya Indonesia. "Dari dalam negeri, aksi damai 212 berjalan kondusif, sentimen bergerak positif," kata dia pada Republika, Ahad (2/12).
Tapi untuk tembus Rp 13.000 per dolar AS, tambahnya, butuh waktu lebih karena pelaku pasar menunggu rilis rapat The Fed tanggal 19 Desember mendatang. Ia menyarankan Pemerintah tetap perlu fokus untuk menekan Current Account Deficit (CAD) terutama dari sisi defisit Migas.
Kemudian, menjaga likuiditas valuta asing dalam negeri karena tingginya kebutuhan korporasi dan perbankan untuk melunasi utang jangka pendek hingga awal 2019. Menurutnya, pemerintah bisa tahan penerbitan SBN itu sudah bagus sekali.
"Artinya ada koordinasi antara fiskal dan moneter, agar nggak rebutan dolar AS di pasar keuangan," kata dia.
Solusi lain adalah pendalaman pasar keuangan domestik. Jika mau cari utang baru sasaran investornya dari dalam negeri sehingga menggunakan rupiah bukan valas.
Meski penguatan bisa berlanjut, mata uang rupiah juga masih tetap rentan. Bhima mengatakan sejauh ini yang menyelamatkan rupiah adalah penerbitan utang pemerintah sehingga asing masuk lagi ke Indonesia.
Tapi dengan naiknya Fed rate bulan Desember kondisi bisa berbalik arah alias capital reversal. Jadi tetap ada kemungkinan melemah di akhir 2018 dan awal tahun depan.
Analis Bank Mandiri Rully Arya Wisnu memperkirakan tren positif penguatan kemungkinan berlanjut membawa mata uang Garuda ke kisaran Rp 14.300-14.500 per dolar AS. Menurutnya, pemerintah dan Bank Indonesia harus tetap menjaga iklim investasi agar tetap kondusif.
"Juga menjaga keseimbangan fiskal dan neraca transaksi berjalan, tetap fokus kepada stabilnya ekonomi makro secara keseluruhan," kata dia.
Selain itu terus melakukan pendalaman pasar dengan mendorong berbagai instrumen kebijakan dan instrumen finansial. Baik yang berbasis rupiah maupun dolar AS. Pasalnya, Indonesia masih cukup rentan terpapar ketidakstabilan global.
"Terutama karena masih tingginya defisit perdagangan dan neraca transaksi berjalan, negara-negara berkembang seperti Indonesia memang rentan terhadap gejolak global," katanya.