Jumat 30 Nov 2018 03:23 WIB

Mendorong Unicorn Melantai di Pasar Modal

BEI menyebut belum ada komunikasi intensif dengan perusahaan rintisan besar

(kiri ke kanan) : Melisa Siska Juminto (Tokopedia), Monica Oudang (Gojek), Cleosent Randing (CEO Pasarpolis), Rudiantara (Menkominfo) dan Caesar Indra (Traveloka) dalam peresmian kemitraan strategis di Jakarta, Jumat (10/8).
Foto: Republika/Adinda Pryanka
(kiri ke kanan) : Melisa Siska Juminto (Tokopedia), Monica Oudang (Gojek), Cleosent Randing (CEO Pasarpolis), Rudiantara (Menkominfo) dan Caesar Indra (Traveloka) dalam peresmian kemitraan strategis di Jakarta, Jumat (10/8).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Erik Purnama Putra/Wartawan Republika

Di tengah melambatnya perekonomian global yang diikuti Indonesia hingga pertumbuhan ekonomi hanya berkutat di angka 5 persen, hal itu tidak diikuti dengan kinerja Bursa Efek Indonesia (BEI). Mantan Direktur Penilaian Perusahaan BEI Samsul Hidayat menyatakan, pasar modal menunjukkan trend positif dalam lima tahun terakhir. Dia mencatat, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) tumbuh rata-rata sebesar 7,1 persen per tahun atau di atas pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Kondisi itu sejalan aktivitas transaksi pada 2012-2017 yang ikut naik dari Rp 4 triliun menjadi Rp 7,5 triliun. Pun dengan investor domestik ikut melonajak dari sekitar 400 ribuan investor pada 2015, menjadi sekitar 600 ribuan investor pada 2017. Direktur Utama BEI Inarno Djajadi mengapresiasi pencapaian tersebut, lantaran jumlah investor baru saham di BEI merupakan yang tertinggi sejak pasar modal Indonesia diresmikan pemerintah pada 41 tahun lalu.

PT Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) melansir data per tanggal 19 November 2018, total jumlah investor saham di BEI mencapai 829.426 single investor identification (SID). Kalau dibandingkan dengan angka investor pada akhir 2017 yang secara resmi tercatat mencapai 628.491 SID maka terjadi kenaikan 31,97 persen.  Torehan itu bisa terus bertambah, mengingat masih ada waktu efektif sebulan sebelum perdagangan tahun ini secara resmi ditutup.

Meski begitu, kondisi global yang tidak menentu pada 2018, yang membuat rupiah terpuruk hingga neraca perdagangan pemerintah defisit membuat IHSG sempat tertekan. Dalam perdagangan BEI pada akhir 2017, bursa saham ditutup di level 6.355,65. Pada akhir November 2018, saham bergerak di level antara 5.998,95-6.030,90. Pun nilai rata-rata transaksi harian BEI pada akhir tahun lalu sebesar Rp 7,44 triliun, belakangan ini turun menjadi sekitar Rp 6,80 triliun. 

Hanya saja, torehan positif BEI tidak bisa dihapuskan begitu saja gara-gara pada 2018, mengalami sedikit hambatan. Kalau ditarik sejak era swastanisasi BEI pada 13 Juli 1992, nilai kapitalisasi pasar modal Indonesia meroket signifikan. Dari hanya 24,5 triliun pada 26 tahun lalu, kini nilai kapitalisasi pasar BEI sebesar Rp 7.235,83 triliun atau 29.555 persen. Adapun tahun ini, angka itu sepertinya terkoreksi sedikit, meski tetap menunjukkan trend menggembirakan.

Torehan kapitalisasi pasar BEI memang masih kalah dibandingkan dengan beberapa negara di ASEAN, namun pencapaiannya sudah sangat mencengangkan. Patokannya, nilai kapitalisasi pasar modal Indonesia sudah melebihi nilai kapitalisasi perbankan. Dengan angka melebihi 7.000 triliun, hal itu sama saja sudah tiga kali lipat lebih nilai APBN 2018 sebesar Rp 1.894 triliun atau cadangan devisa pemerintah sebanyak Rp 1.700 triliun.

Ada yang menarik dari daftar lima atau 10 emiten besar yang melantai di BEI. Bloomberg pada pertengahan tahun ini membeberkan data, posisi pertama emiten diduduki PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) dengan kapitalisasi pasar (market cap) sebesar Rp 529,47 triliun. Jumlah tersebut turun sedikit 1,94 persen dibandingkan torehan per 29 Desember 2017, yaitu sebesar Rp 539,94 triliun.

Urutan berikutnya diduduki PT HM Sampoerna Tbk (HMSP) dengan kapitalisasi pasar sebesar Rp 416,42 triliun, disusul PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (TLKM) dengan kapitalisasi pasar Rp 378 triliun, dan di peringkat keempat diraih PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR) dengan kapitalisasi pasar Rp 351,74 triliun, serta peringkat kelima diisi PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) dengan kapitalisasi pasar Rp 350,30 triliun.

Berikutnya, posisi keenam ditempati PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) yang punya kapitalisasi pasar Rp 318,78 triliun, PT Astra International Tbk (ASII) di urutan ketujuh dengan kapitalisasi pasar Rp 293,51, serta posisi kedelapan diduduki PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) dengan perolehan Rp 144 triliun.

Kemudian, peringkat kesembilan diduduki PT Gudang Garam Tbk (GGRM) dengan nilai pasar Rp 140,46 triliun dan PT United Tractors Tbk (UNTR) menutup posisi 10 besar dengan dengan Rp 128,32. Melihat daftar perusahaan besar itu, tidak mengagetkan kalau kapitalisasi pasar modal dikuasai 'pemain lama' yang berusia puluhan tahun hingga setengah abad lebih, yang keberadaannya sudah dikenal masyarakat luas.

Terdaftar di BEI

Ada sorotan yang penulis ingin mengingatkan terkait dengan hadirnya Revolusi Industri 4.0, di mana saat ini merupakan era perusahaan rintisan (start up) untuk unjuk gigi dalam dunia pasar modal. Dari ribuan perusahaan rintisan yang lahir dan berkembang di Indonesia, dengan berbagai skala kecil, menengah, dan besar, saat ini sudah tercatat setidaknya ada empat unicorn yang layak diperhitungkan.

Status unicorn adalah perusahaan rintisan yang memiliki valuasi melebihi 1 miliar dolar AS atau sekitar Rp 14,5 triliun. Empat perusahaan itu, antara lain Tokopedia, Gojek, Bukalapak, dan Traveloka. Mereka semua adalah perusahaan yang lahir pada era digital yang baru dalam hitungan tahun. Keempat unicorn tersebut meski terbilang perusahaan baru, namun kehadirannya sudah sangat dirasakan masyarakat seiiring dengan membesarkanya pangsa pasar mereka. 

Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara juga mengharapkan perusahaan rintisan beraset di atas 1 miliar dolar AS bisa melantai di bursa saham. Dia sempat menyentil Tokopedia, Gojek, Bukalapak, dan Traveloka agar berani meniru perusaaan rintisan yang memiliki aset lebih kecil, yaitu NFC Indonesia yang mencatatkan dirinya di BEI pada Juli lalu. Walaupun belum berstatus unicorn, pihaknya mengapresiasi keberanian masuk ke bursa di Indonesia. 

"NFCX ini adalah perusahaan jasa teknologi informasi, digital dan telekomunikasi di Jakarta. (Ini) merupakan perusahaan kedua yang melantai di bursa. Makanya saya berharap unicorn-unicorn lainnya berani masuk ke Bursa Efek Indonesia," kata Rudiantara dalam siaran yang diterima Republika.

Dirut BEI Samsul Hidayat menyatakan, berupaya mendorong unicorn mau melantai di bursa saham. Hanya saja, pihaknya mengakui, memang belum ada komunikasi intensif antara BEI dan perusahaan rintisan. Dia menganggap, sepertinya perusahaan rintisan besar itu belum terlalu membutuhkan tambahan dana dari publik. Meski begitu, ia mendapat kabar, ada perusahaan rintisan skala menengah yang ingin mencari pendanaan lewat bursa. "Kami memberikan kesempatan kepada start up yang ingin mencari pendanaan dari pasar modal," kata Samsul.

Tidak diragukan lagi, semakin bertumbuhnya jumlah pengguna internet dan membaiknya perekonomian Indonesia, bisa berimplikasi pada membesarnya valuasi empat unicorn yang kebetulan sama-sama dimiliki anak muda. Bukan tidak mungkin, dalam hitungan beberapa tahun lagi, semua perusahaan tersebut bisa mencatatkan nilai pasar berkali-kali lipat dibandingkan yang sekarang. Pun sangat besar kemungkinan, lahir perusahaan rintisan baru yang akan menyandang status unicorn lagi.

Apa yang bisa dipelajari dari fenomena itu? Di sinilah peluang yang harus ditangkap manajemen BEI untuk merangkul atau mendorong para pemilik unicorn untuk mau melantai di pasar modal Indonesia. Pasalnya, keberadaan empat perusahaan baru berbasis teknologi itu bisa cepat melesat dan menjadi yang terbesar di bidangnya masing-masing lantaran mereka bisa menangkap peluang hadirnya era pasar digital.

Belajar dari Amerika Serikat, yang mana banyak perusahaan yang lahir dari era digital sudah melantai di Wall Street, seperti Facebook, Google, hingga Alibaba yang sempat mencatatkan penawaran saham baru (IPO) terbesar di Bursa Efek New York, maka BEI harus pro aktif. Manajemen BEI wajib bisa membujuk agar para unicorn, termasuk perusahaan berbasis aplikasi Grab milik Singapura, namun beroperasi di Indonesia, agar mau melantai di bursa saham.

Karena, dengan kehadiran para perusahaan berbasis digital tersebut, maka nilai valuasi harian BEI bisa semakin besar. Pun para perusahaan itu bisa mendapatkan tambahan dana untuk dapat digunakan melakukan ekspansi keluar negeri, misalnya Gojek. Dengan mau melantainya para unicorn, hal itu bisa berdampak pada semakin dipercayanya BEI sebagai bursa saham dengan kinerja positif di level ASEAN. 

Dampaknya, beberapa perusahaan besar berbasis consumer maupun BUMN yang selama ini ogah IPO mungkin bisa ikut tertarik melantai di bursa saham ketika melihat para unicorn saja percaya untuk mencatatkan namanya di BEI. Sehingga untuk jangka panjangnya, investor bisa berbondong-bondong untuk menanamkan sahamnya di pasar modal Indonesia.

Mantan Dirut BEI Tito Sulistio memprediksi, kalau saja dua dari 22 perusahaan besar berbasis consumer mau IPO maka kapitalisasi pasar BEI bisa langsung bertambah Rp 2.000 triliun. Bisa dibayangkan, kalau unicorn dan BUMN ikut pula melantai di bursa saham maka bisa semakin memoncerkan kinerja BEI. Pasalnya, saat ini Indonesia masih tertinggal dibandingkan beberapa negara Asia Tenggara terkait valuasi pasar modal. Saat ini, nilai kapitalisasi pasar BEI terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia baru mencapai 50 persen. Angka itu bisa naik menjadi 65 persen terhadap PBD kalau kapitalisasi pasar modal menyentuh Rp 10 ribu. 

Bandingkan dengan Thailand yang kapitalisasi pasar modalnya sudah menyentuh 90 persen PBD, Malaysia mencapai 120 persen, dan bahkan Singapura sampai 200 persen. Sehingga, masih banyak pekerjaan rumah yang mesti dibenahi manajemen BEI untuk terus menggaet nasabah besar agar banyak perusahaan besar mau melantai di pasar modal Indonesia. Bisakah BEI menaikkan kapitalisasi pasar modal? Kita tunggu saja apa yang terjadi pada tahun-tahun akan datang

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement