REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penguatan rupiah yang terjadi pada Kamis (29/11) disambut baik oleh Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Retail Indonesia (Aprindo) Roy Nicholas Mandey. Namun, menurutnya, dampak penguatan rupiah terhadap iklim usaha baru akan dirasakan dalam jangka waktu panjang.
Roy memprediksi, bisnis di industri ritel sendiri belum dapat kembali ke kondisi baik hingga akhir tahun. Sebab, pukulan yang terjadi akibat pelemahan rupiah terhadap dolar AS pada awal tahun berdampak signifikan kepada pengusaha ritel.
"Besarnya pukulan kemarin membuat penguatan rupiah sekarang juga belum memberikan efek kepada kami," tuturnya saat dihubungi Republika, Kamis (29/11).
Di tengah kondisi ketidakpastian, Roy tetap berharap pertumbuhan ritel dapat terus terjadi. Pada kuartal ketiga 2018, tercatat pertumbuhan ritel hanya tujuh persen. Angka ini turun lebih dari 50 persen dibanding dengan kuartal kedua yang mencapai 15 persen karena adanya Ramadan dan Lebaran.
Roy menargetkan, pertumbuhan ritel pada akhir tahun dapat menyentuh 11 persen. Peningkatan dari kuartal ketiga ini disebabkan adanya liburan Natal dan Tahun Baru, di mana masyarakat biasanya akan berbelanja dalam jumlah banyak.
"Dua momen ini diharapkan dapat mengerek pertumbuhan penjualan ritel," ucapnya.
Apabila berjalan sesuai target, Roy mengatakan, pertumbuhan ritel sepanjang tahun 2018 berada di kisaran 10 sampai 11 persen. Kondisi ini diharapkan dapat membaik pada 2019 dengan memanfaatkan momentum Pilkada dan Pilpres. Di pesta demokrasi ini, masyarakat biasa mengeluarkan uang untuk berbelanja.
Sementara itu, Wakil Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjaja Kamdani menjelaskan, kondisi rupiah yang menguat pada hari ini belum memberikan efek terhadap kegiatan usaha. Sebab, penguatan baru saja terjadi dan belum signifikan seperti pelemahan rupiah yang terjadi beberapa bulan terakhir.
Shinta menambahkan, efek tersebut semakin melemah mengingat tidak ada jaminan rupiah menguat untuk jangka panjang. "Tapi, kami tetap berharap rupiah dapat menyentuh angka Rp 14 ribu per dolar AS. Setidaknya pada awal tahun 2019," ucapnya.
Shinta menjelaskan, penguatan rupiah menjadi harapan semua pengusaha. Sebab, apabila rupiah melemah kembali dan terus mengalami pelemahan, biaya produksi di tiap lini usaha dapat meningkat. Apalagi untuk sektor-sektor yang harus mengimpor bahan baku seperti tekstil dan makanan dan minuman.
Shinta berharap, penguatan rupiah ini dapat dijaga terus oleh pemerintah dan lembaga terkait. Apabila tingkat rupiah dapat terus berada dalam kondisi kuat, ia optimistis, kontribusi pengusaha terhadap perekonomian nasional akan semakin signifikan.
Saat ini, Shinta mengatakan, pengusaha sedang menunggu stabilnya nilai tukar rupiah terhadap dolar untuk menunggu langkah ‘panjang’. Mereka juga menantikan penurunan suku bunga dari Bank Indonesia untuk memaksimalkan tingkat produksi yang bisa berorientasi pada ekspor. "Kalau kondisi sekarang kan cenderung membatasi," tuturnya.
Sejak awal bulan, rupiah sudah menunjukkan tren penguatan sejak awal bulan ini. Sejak menyentuh level tertinggi Rp 15.200 pada bulan Oktober, kini nilai tukar rupiah terhadap dolar AS terus menunjukkan kondisi menguat.
Sebelumnya, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo sebelumnya mengungkapkan ada beberapa penyebab nilai tukar rupiah menguat dalam waktu relatif cepat . Salah satunya, kepercayaan investor asing yang meningkat karena membaiknya indikator ekonomi domestik. Misalnya, realisasi pertumbuhan ekonomi domestik kuartal ketiga 2018 serta laju inflasi tahun ke tahun (yoy) sebesar 3,16 persen hingga Oktober 2018.