REPUBLIKA.CO.ID, TANAH DATAR -- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Sumatra Barat mendorong Badan Perkreditan Rakyat (BPR) untuk ramai-ramai melakukan merger atau penyatuan usaha. Selain mampu memperbesar modal inti, cara ini diyakini efektif menyelamatkan 18 unit BPR di Sumatra Barat yang tercatat di zona merah alias nyaris ditutup.
Pengawas Perbankan OJK Provinsi Sumatera Barat, Rizky Jati Nugroho, menyebutkan bahwa 18 BPR tersebut tersebar di empat daerah dengan rincian, 6 unit BPR di Kabupaten Limapuluh Kota, 5 unit di Kabupaten Sijunjung, 3 BPR di Kabupaten Dharmasraya 3 BPR, dan Kabupaten Tanah Datar ada 4 BPR.
"Bagi BPR yang dinilai goyah soal permodalan, maka merger perlu dilakukan. Cuma kendalanya, para pemegang saham tidak memiliki pemahaman tentang merger bank ini," kata Rizky di sela media gathering di Aie Angek Cottage, Sabtu (24/11).
Rizky menyebutkan, merger antar-BPR nantinya akan dilakukan per kabupaten/kota. Artinya, dari daftar BPR 'kritis' yang disebutkan di atas, merger akan dilakukan setiap kabupaten/kota. Misalnya, lima BPR di Sijunjung yang akan digabung bisa ditransformasikan menjadi satu atau dua unit BPR baru.
"Satu BPR dimerger di satu daerah. Kita berharap, rencana ini berjalan dengan baik, supaya tidak ada BPR yang tutup," katanya.
OJK memandang bahwa merger mampu mendorong masing-masing BPR memiliki modal inti minimum sebesar Rp 3 miliar pada 2019, kemudian meningkat menjadi Rp 6 miliar pada 2024. Kepemilikan modal inti yang lebih gendut diyakini akan memberikan skala permodalan yang lebih besar bagi masyarakat.
Sebetulnya demi mengejar kepemilikan modal inti yang lebih besar, BPR tak harus melakukan merger. BPR bisa saja mencari investor baru yang bisa menyuntikkan modal lebih besar. Namun cara ini dipandang tak mudah.
OJK melihat bahwa merger merupakan cara paling ampuh dan 'aman' bagi BPR di Sumbar untuk memperbesar modal inti. Penggabungan usaha BPR juga diharapkan bisa mengurangi risiko likuidasi terhadap bank dengan kinerja keuangan buruk.