Senin 19 Nov 2018 06:56 WIB

Pemerintah Kembangkan Karet untuk Campuran Aspal

Upaya ini dilakukan untuk meningkatkan harga karet yang tengah jatuh.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Friska Yolanda
Buruh menata karet-karet yang dikemas menjadi balok di pabrik pengolahan karet Perusahaan Daerah Citra Mandiri Jawa Tengah (PD CMJT), Tlogo, Tuntang, Kabupaten Semarang, Jateng, Rabu (19/9). Menurut Asosiasi Petani Karet Indonesia (Apkarindo), harga karet di tingkat petani mengalami penurunan sejak enam bulan terakhir dari sekitar Rp10.000 per kilogram menjadi Rp5.000-Rp6.000 per kilogram.
Foto: Aditya Pradana Putra/Antara
Buruh menata karet-karet yang dikemas menjadi balok di pabrik pengolahan karet Perusahaan Daerah Citra Mandiri Jawa Tengah (PD CMJT), Tlogo, Tuntang, Kabupaten Semarang, Jateng, Rabu (19/9). Menurut Asosiasi Petani Karet Indonesia (Apkarindo), harga karet di tingkat petani mengalami penurunan sejak enam bulan terakhir dari sekitar Rp10.000 per kilogram menjadi Rp5.000-Rp6.000 per kilogram.

REPUBLIKA.CO.ID, PONTIANAK -- Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto mengatakan, pemerintah terus melakukan berbagai uapaya untuk meningkatkan permintaan komoditas karet lokal, terutama di pasar internasional. Hal ini dilakukan mengingat harga karet global yang tidak bersahabat, yakni di rentang 1.300 dolar AS sampai 1.350 dolar AS per ton.

Airlangga menjelaskan, salah satu upaya yang dilakukan pemerintah adalah memberikan investasi untuk membuat prototype atau percobaan karet sebagai bahan campuran membuat aspal. Penelitian yang dilakukan bersama Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) ini sebagai upaya memberikan nilai tambah terhadap karet.

"Akan segera difinalisasi untuk kesiapannya," tuturnya dalam kunjungan kerja ke industri karet remah (crumb rubber) PT New Kalbar Processors di Pontianak, Sabtu (17/11).

Dalam kerja sama tersebut, Kementerian Perindustrian ditugaskan untuk mengembangkan produk aspal karet, sementara Kementerian PUPR mendapat amanah mengaplikasikan produk di lapangan. Airlangga menilai, penggunaan karet alam khususnya ditujuakn untuk meningkatkan konsumsi karet alam dalam negeri. Upaya ini tentunya juga akan meniolong petani yang nasibnya terpuruk akibat merosotnya harga karet.

Airlangga menuturkan, upaya kedua yang akan dilakukan adalah mendorong program penanam kembali atau replanting melalui pajak ekspor. Cara ini telah diterapkan di perkebunan sawit melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Hasil pajak ekspor tersebut kemudian diolah kembali untuk digunakan sebagai dana replanting pada kebun rakyat.

Airlangga belum dapat memastikan waktu penerapan skema tersebut, namun ia menyebutnya sebagai urgensi. Sebab, produktivitas karet Indonesia lebih rendah dibandingkan negara lain karena sudah lama tidak replanting akibat tekanan harga. "Untuk waktunya, kami tunggu kesiapan industri," ujarnya.

Selain itu, pemerintah kini juga sudah mengeluarkan crumb rubber atau serbuk karet dari daftar negatif investasi (DNI). Dengan upaya ini, diharapkan investasi asing dapat masuk dan membantu pemerintah maupun petani karet untuk meningkatkan hasil produksi.

Airlangga menjelaskan, dikeluarkannya industri crumb rubber dari DNI bukan tanpa sebab. Selama ini, investasi dalam negeri di industri tersebut relatif nol, sementara investor asing sudah ada yang menyatakan minat. Terlebih, menurutnya, industri ban ekspansi terus, sedangkan crumb rubber sebagai bahan baku pertumbuhannya terbatas.

CEO PT Kirana Megatara Group Martinus S Sinarya menjelaskan, pihaknya sebagai bagian dari industri pengolah karet berupaya terus mengikuti kebijakan pemerintah. Dengan dikeluarkannya crumb rubber dari DNI, justru akan memberi tantangan pada para pengusaha. "Khususnya dalam meningkatkan efisiensi dan produktivitas kami," ujarnya ketika dihubungi, Ahad (18/11).

Martinus menjelaskan, saat ini, ketersediaan bahan baku karet tidak akan menjadi permasalahan untuk investor asing. Tapi, kapasitas produksi terpasang yang melebihi ketersediaan bahan baku. Martinus mencatat, kapasitas produksi terpasang dari ratusan perusahaan karet di Indonesia mencapai 5,6 juta ton per tahun sementara ketersediaan bahan baku hanya 3,5 juta ton.

Dengan angka tersebut, ada kesenjangan 2,1 juta ton karet per tahun antara produksi dengan kebutuhan. Berarti, permasalahan yang ada saat ini adalah produksi di hulu untuk memenuhi kapasitas yang ada, sehingga membutuhkan intervensi lebih dari pemerintah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement