REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pengamat Pertanian dari Fakultas Pertanian, Universitas Islam Riau, UP Ismail mengatakan, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus mengaudit data produksi beras yang dihasilkan Badan Pusat Statistik (BPS). Pasalnya, data BPS tersebut selama ini dipergunakan Kementerian Pertanian dan menurut Wakil Presiden Jusuf Kalla, data itu keliru.
“BPK dan KPK mengaudit ini sehingga terang benderang bagi publik bahwa semua data atau kedua data berbeda itu sumbernya sama-sama bersumber BPS, Angka yang beda itu karena metode ukur lama, di mana metode BPS eyes estimate didukung data DAS, benih, data podes versus satunya metode baru yakni KSA. Kedua data berbeda ini sesungguhnya 100% bersumber BPS,” kata Ismail yang merupakan Ketua Perhepi Komda Pekanbaru.
Ismail menuturkan, berdasarkan data rilis terbaru BPS dengan menggunakan metode Kerangka Sampling Area (KSA), luas baku sawah yang berkurang dari 7,75 juta hektare pada 2013 menjadi 7,1 juta hektare pada 2018. Potensi luas panen 2018 mencapai 10,9 juta hektare, sementara proyeksi Kementerian Pertanian (Kementan) 15,5 juta hektare.
Untuk gabah kering giling atau setara 32,42 juta ton beras. Sementara proyeksi Kementan 83,3 juta ha atau setara 48 juta ton. Dengan demikian, metode KSA pun, Indonesia mengalami surplus beras 29,50 juta ton selama 2018. Data Kementan tentang beras itu semua bersumber BPS dengan metode eyes estimate, sedangkan data terbaru yang dirilis juga dari BPS dengan Metode KSA.
Ismail menjelaskan, sejak Indonesia merdeka sampai sekarang data pangan satu pintu di BPS. Kementan tidak mengolah data pangan. Semua rilis data Kementan tentu berasal dari BPS. Metode BPS yakni eyes estimate kemudian mengolah dan merilis data pangan. Tetapi, sejak 2016 sampai kemarin BPS tetap mendata, mengolah, namun tidak merilis data pangan karena menunggu perbaikan data dengan KSA.
Data BPS metode eyes estimate itulah yang dirilis Kementan dan disajikan. Dengan demikian data yang dimiliki dan ada di laman kementan bersumber daro BPS. Namun, BPS merilis untuk internal. Karena itu, harus diakui justru selama tiga tahun ini Kementan menjadi pihak yang dirugikan karena BPS tidak merilis datanya. Akhirnya Kementan meminta dan memakai data BPS yang tidak dirilis tersebut.
Adapun impor, kata Ismail, bukan karena produksi kurang tapi pengelolaan distribusi tidak merata baik beras maupun jagung.