Rabu 07 Nov 2018 14:33 WIB

Gejolak Ekonomi Global Saat Ini Lebih Berdampak pada UKM

Saat krisis moneter tahun 1998, UKM relatif tidak terdampak gejolak ekonomi global

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Nidia Zuraya
Perajin UKM (ilustrasi)
Foto: nenygory.wordpress.com
Perajin UKM (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Corporate Secretary and Chief Economist BNI Ryan Kiryanto mengatakan, gejolak ekonomi global berdampak terhadap usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM). Sebab, terdapat supply chain atau rantai pasok yang membentang antara investasi ke korporasi besar hingga pengusaha skala UMKM.

Menurut Ryan, apabila kondisi ekonomi dunia sedikit melemah, dampak pertama dirasakan oleh korporasi skala besar. Efek dominonya, kata dia, dalam konsep rantai pasok yakni menurunnya performa korporasi besar berdampak pada korporasi segmen menengah.

Baca Juga

"Terakhir, kelas UMKM juga berpotensi terkena efeknya," tutur Ryan ketika ditemui dalam acara diskusi Proyeksi Perekonomian 2019: Tantangan dan Peluang Bagi Koperasi dan UKM di Kantor Kementerian Koperasi dan UKM, Jakarta, Rabu (7/11).

Ryan mengatakan, kondisi ini berbeda dengan krisis moneter pada 1998. Saat itu, UKM relatif tidak terkena dampak gejolak ekonomi global karena belum banyak pelaku usaha yang bersentuhan dengan nilai tukar dan hampir tidak ada UKM yang melakukan pinjaman dalam valuta asing (valas). Sementara itu, pada 2018, sudah banyak UKM yang meminjam dalam valas, sehingga mudah terdampak.

Tapi, Ryan menambahkan, pelaku UKM tidak akan terbawa dampak gejolak ekonomi global terlalu dalam. Sebab, pengusaha Indonesia terbilang berpengalaman dalam menghadapi dinamika ekonomi.

"Kita sudah belajar dengan kejadian-kejadian kemarin. Ini yang menyebabkan pemerintah optimistis pertumbuhan ekonomi dapaat berada di atas 5 persen," ucapnya.

Selain itu, daya beli masyarakat Indonesia juga terpantau masih terjaga baik. Ryan menjelaskan, kondisi ini terlihat dari tingkat konsumsi rumah tangga pada kuartal III tahun ini mencapai sekitar 5,01 persen. Sementara itu, sebelumnya lebih tinggi, yakni menyentuh 5,14 persen di kuartal II.

Poin lain terkait stabilitas daya beli masyarakat adalah transaksi masyarakat menggunakan instrumen ritel sistem pembayaran (ATM, debit, kartu kredit dan uang elektronik) yang masih berada dalam tren meningkat. “Per Agustus 2018, transaksi ini tumbuh 9,4 persen year on year yang didominasi instrumen ATM-debit dengan pertumbuhan 9,1 persen year on year,” kata Ryan.

Salah satu pelaku UKM Juan Firmansyah mengatakan, dampak gejolak ekonomi global dirasakannya secara langsung. Harga bahan baku dari vendor dan mitra kerja, seperti kulit impor, sempat mengalami peningkatan seiring dengan penguatan nilai tukar rupiah terhadap dolar beberapa waktu belakangan. Bahan baku itu digunakan sebagai komplementer untuk membuat produk jadi berupa anyaman.

Dengan peningkatan harga dari vendor, Juan menambahkan, pihaknya juga harus melakukan perubahan harga terhadap klien. Meski kenaikkan harga per produk tidak sampai 10 persen, apabila diakumulasi, kenaikkan tetap terasa berat.

"Mau tidak mau, kami coba komunikasikan dengan klien. Untungnya, mereka paham," ucapnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement