Selasa 06 Nov 2018 06:08 WIB

Tol Laut Belum Bisa Pacu Aktivitas Ekonomi Luar Jawa

Kemenhub akan mencabut subsidi operator tol laut yang tak penuhi standar minimal

Rep: Djoko Suceno/ Red: Nidia Zuraya
Tol Laut. ilustrasi
Tol Laut. ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID,

mulai 2019 Kementerian Perhubungan berencana mencabut subsidi biaya pengangkutan yang dilakukan oleh operator perusahaan BUMN dalam program ini jika tidak bisa memenuhi standar minimal muatan balik sebesar 30 persen.

BANDUNG — Sejak diluncurklan pemerintah tiga tahun lalu, program Tol Laut dinilai belum dapat memacu aktivitas ekonomi luar Jawa. Hal ini terlihat dari volume muatan balik dari kawasan timur Indonesia yang tetap rendah.

Padahal program ini dijalankan karena disparitas harga yang cukup tinggi antara wilayah barat dan timur Indonesia. "Pertumbuhan ekonomi yang terpusat di Pulau Jawa mengakibatkan inefisiensi transportasi laut Indonesia karena kekurangan muatan balik dari wilayah-wilayah dengan pertumbuhan ekonomi rendah, terutama di Kawasan Timur Indonesia,"  kata Chairman Supply Chain Indonesia  (SCI), Setijadi, dalam keterangan pers tertulis kepada Republika.co.id Selasa (6/11).

Berdasarkan catatan SCI,  kata dia, jenis barang atau komoditas yang diangkut dalam Program Tol Laut diatur dengan Perpres Nomor 106 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Kewajiban Pelayanan Publik untuk Angkutan Barang di Laut dan direvisi dengan Perpres Nomor 70 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Kewajiban Pelayanan Publik untuk Angkutan Barang dari dan ke Daerah Tertinggal, Terpencil, Terluar, dan Perbatasan.

Sementara Perpres Nomor 70 Tahun 2017 menyebutkan bahwa barang yang diangkut dalam Program Tol Laut meliputi barang kebutuhan pokok dan barang penting, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan jenis barang lain sesuai dengan kebutuhan masyarakat daerah tertinggal, terpencil, terluar, dan perbatasan; termasuk ternak dan ikan serta muatan balik yang berasal dari daerah yang disinggahi oleh angkutan barang di laut, darat, dan udara.

Mengacu kepada Perpres Nomor 71 Tahun 2015 tentang Penetapan dan Penyimpanan Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting, jenis barang kebutuhan pokok terdiri dari  barang kebutuhan pokok hasil pertanian, barang kebutuhan pokok hasil industri, dan barang kebutuhan pokok hasil peternakan dan perikanan. Adapun jenis barang penting terdiri dari benih (benih padi, jagung, dan kedelai), pupuk, gas elpiji tiga kilogram, triplek, semen, besi baja konstruksi, dan baja ringan.

SCI, lanjut Setijadi, menganalisis beberapa faktor penyebab Program Tol Laut tidak optimal yang perlu diatasi dengan fokus terhadap komoditas. Fokus terhadap komoditas diperlukan untuk meningkatkan potensi muatan balik dari Kawasan Timur Indonesia (KTI) maupun daerah-daerah lain yang dilewati Program Tol Laut, misalnya komoditas perikanan.

Sebagai contoh, trayek T-11 (rute Tanjung Perak–Timika–Agats–Marauke–Tanjung Perak) dapat digunakan untuk pengangkutan ikan dari Merauke. Sebagai gambaran, potensi di wilayah tersebut sebesar  1.992.730 ton setahun.

Merauke adalah salah satu dari 12 lokasi Program Sentra Kelautan dan Perikanan Terpadu (SKPT) yang dibangun Kementerian Kelautan dan Perikanan pada tahun 2017. Pengembangan SKPT-SKPT lainnya itu juga bisa disinergikan dengan Program Tol Laut, termasuk dalam upaya peningkatan muatan balik.

Upaya tersebut tepat karena Tanjung Priok (Jakarta) dan Tanjung Perak (Surabaya) adalah pintu keluar kawasan industri di bagian barat dan timur Pulau Jawa yang sebagian produknya dikirim ke KTI dan wilayah-wilayah lainnya. Di lain sisi, sebagian besar industri pengolahan ikan juga berada di Pulau Jawa, sehingga diperlukan pengangkutan ikan dari KTI dan wilayah-wilayah lain tersebut yang dapat menjadi muatan balik tol laut.

Namun, kata Setijadi, upaya peningkatan muatan balik ini bukan hal mudah yang bisa dicapai dalam waktu cepat. "Perlu perencanaan dan implementasi secara sistemik dan sistematis dalam jangka panjang dengan melibatkan banyak pihak terkait," ujarnya.

Sementara untuk muatan komoditas perikanan, Setijadi menyarakan empat hal. Pertama, pemetaan pasokan dan permintaan untuk mengetahui lokasi/wilayah produksi berikut jenis dan volume/kapasitas pasokannya. Demikian pula untuk sisi permintaannya.

Kedua, penyiapan infrastruktur/fasilitas sesuai dengan karakteristik komoditasnya. Penanganan komoditas perikanan, jelasnya, membutuhkan sarana dan prasarana rantai dingin (cold chain) berupa air blast freezer, cold storage, ice flake machine, dan refrigerated truck.

"Sarana dan prasarana itu  membutuhkan listrik yang besar, sehingga pemerintah perlu mengembangkan listrik tenaga surya di beberapa wilayah tertentu," tutur Setijadi.

Ketiga, lanjut dia, penerapan sistem distribusi. Salah satu yang penting adalah proses konsolidasi muatan karena titik-titik produksi perikanan yang sangat tersebar hingga ke tingkat nelayan.

Keempat, peningkatan kemampuan penanganan logistik semua pelaku secara end-to-end, mulai dari titik produksi (nelayan), pengumpulan, pengangkutan, hingga penjualan (pengecer) atau pengolahan. Hal ini penting karena penanganan di setiap titik akan mempengaruhi kelancaran distribusi dan kualitas komoditas.

Upaya-upaya tersebut, kata Setijadi, perlu dilakukan  untuk peningkatan muatan balik berupa komoditas hasil peternakan, seperti daging sapi dan daging ayam ras. Implementasi Program Tol Laut membutuhkan dukungan secara sinergis dari kementerian/lembaga terkait, pelaku usaha, penyedia jasa logistik dan transportasi, hingga pemerintah daerah.

Terkait pelaksanaan program tol laut, mulai 2019 Kementerian Perhubungan berencana mencabut subsidi biaya pengangkutan yang dilakukan oleh operator perusahaan BUMN dalam program ini jika tidak bisa memenuhi standar minimal muatan balik sebesar 30 persen. Jumlah trayek program tol laut pada tahun 2018 sebanyak 15 trayek dengan anggaran sekitar Rp 447,63 juta.  

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement