REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Institusi keuangan mikro, saat ini, menjadi salah satu ujung tombak pembangunan dan pengentasan kemiskinan. Karena itu, keuangan mikro diharap kembali fokus pada penanggulangan kemiskinan tanpa mengabaikan pemberdayaan komunitas dan pengetahuan lokal.
Demikian dikatakan Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Unpad, Yudi Azis, dalam Seminar Internasional Integrated Microfinance Management (IMM) yang mengambil tema “IMM on 4.0 Industrial Revolution”, di Bandung, Sabtu (3/11).
Kegiatan tersebut diselenggarakan Program Manajemen Keuangan Mikro Terpadu (MKmT), Universitas Padjadjaran bekerjasama dengan Universitiet Leiden, Belanda ini dibuka Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Unpad Yudi Azis.
Hadir sebagai pembicara Direktur Leiden Ethnosystem And Development (LEAD) Programme LJ Slikkerveer, CEO Kuelap --perusahaan konsultan IT microfinance institution berbasis di Seattle-Craig Chelius, Director Innovation and Partnership Kuelap Luisa Martinez, Ketua Pengurus Koperasi Mitra Dhuafa (Komida) Slamet Riyadi, Akademisi Unpad Asep Mulyana, dan bertindak sebagai moderator Harlan Dimas.
Yudi Azis mengatakan, keuangan mikro juga harus mempertimbangkan karakteristik masyarakat miskin di perkotaan dan perdesaan. Oleh karena itu, pemanfaatan kemajuan teknologi untuk efisiensi transaksi keuangan mikro seperti fintech diharapkan tidak hanya fokus pada efisiensi teknis dan operasional sebagaimana yang seringkali dijadikan andalan. "Namun juga fintech dalam konteks sosial saat teknologi akan dipergunakan," katanya.
Menurut Ketua Pengurus Koperasi Mitra Dhuafa (Komida), Slamet Riyadi, Komida fokus pada pemberdayaan perempuan miskin. Untuk itu, Komida tidak hanya sebatas membagikan uang tetapi juga meningkatkan kapasitas dari peminjam dan meningkatkan pendidikan dari anggotanya.
Di dalam menyalurkan pinjaman, pihaknya tidak mensyaratkan collateral, tanpa fotokopi KTP, dan tidak pula menggunakan kontrak tertulis. "Meski tidak mensyaratkan jaminan, angka NPL hampir 0 persen. Hanya 0,3 persen nasabah yang terlambat melakukan pembayaran," katanya.
Direktur Leiden Ethnosystem And Development (LEAD) Programme LJ Slikkerveer juga menyoroti tentang bergesernya konsep institusi keuangan mikro ke arah komersial. Hal itu menyebabkan, peran institusi keuangan mikro terhadap penanggulangan kemiskinan menjadi sangat minim. Padahal sebelumnya, ketika Grameen Bank muncul institusi keuangan mikro memiliki fokus untuk membantu kaum miskin.
Sedangkan Akademisi Unpad Asep Mulyana mengatakan, dalam paradigma IMM, uang berperan sebagai katalis sedangkan faktor kunci adalah manusia. Oleh karena itu, manajer keuangan harus lebih aware bahwa masih ada kelompok manusia yang mungkin tidak terjangkau program pembangunan terutama yang fokus pada bidang ekonomi.
CEO Kuelap --perusahaan konsultan IT microfinance institution berbasis di Seattle-Craig Chelius mengatakan, salah satu masalah yang dihadapi keuangan mikro adalah pasar yang kecil dan terdiri sehingga memerlukan biaya operasional yang besar dan risiko tinggi. Oleh karena itu, untuk menjaga kelanjutannya, institusi keuangan mikro harus menekan biaya operasional dengan bergabung melalui penggunaan teknologi.
“Dengan bergabung dalam satu plaform, institusi keuangan mikro menjadi lebih kuat,” katanya.
Menurut Ketua Program Studi MKmT Arief Helmi, kegiatan yang merupakan inisiatif dari mahasiswa tersebut merupakan salah satu cara untuk meyakinkan agar jangan sampai ada masyarakat yang tertinggal di era revolusi industri 4.0. Karena, hanya sedikit masyarakat miskin yang tersentuh dengan teknologi informasi, sedangkan pada era revolusi industri 4.0 aspek teknologi informasi menjadi tumpuan utama.
“Kita mencoba mendiskusikan bagaimana agar kemajuan teknologi tidak meninggalkan masyarakat miskin menjadi tidak tertolong sema sekali,” katanya.
Komentar
Gunakan Google Gunakan Facebook