Jumat 02 Nov 2018 23:28 WIB

Kontraktor Diminta Pahami Kontrak Kerja Konstruksi

Kementerian PUPR meyakini banyak kerugian bila terjadi permasalahan kontrak kerja

Rep: Intan Pratiwi/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Pembangunan infrastruktur oleh Kemeterian PUPR
Pembangunan infrastruktur oleh Kemeterian PUPR

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) berupaya meningkatkan kompetensi dan pemahaman para kontraktor terkait kontrak kerja konstruksi. Pemahaman mengenai kontrak kerja dianggap penting untuk menghindari adanya sengketa konstruksi. 

Direktur Bina Penyelenggaraan Jasa Konstruksi Kementerian PUPR Sumito mengatakan, gencarnya pembangunan infrastruktur dapat menimbulkan potensi terjadinya sengketa kontruksi dalam pelaksanaannya.“Hal ini terkait dengan besarnya jumlah nilai paket pekerjaan dan juga kurangnya pengetahuan terhadap aspek dalam kontrak kerja kontruksi," kata Sumito pada acara Seminar dan Workshop Konstruksi Indonesia 2018, yang mengangkat tema Kontrak Konstruksi dan APS, di Jakarta, Jumat (2/11). 

Dia menjelaskan, sesuai Undang-Undang Jasa Konstruksi Nomor 2 Tahun 2017 pasal 1 angka 8, kontrak kerja konstruksi adalah keseluruhan dokumen yang mengatur hubungan hukum antara pengguna jasa dan penyedia jasa dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi.

Sedangkan pada pasal 46, dinyatakan bahwa pengaturan hubungan kerja antara pengguna jasa dan penyedia jasa harus dituangkan dalam kontrak kerja konstruksi. Bentuknya dapat mengikuti perkembangan kebutuhan dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

Selama ini, kata dia, permasalahan yang terjadi di lapangan dalam hal pelaksanaan kontrak kerja konstruksi antara lain isi dokumen kontrak yang multitafsir. Kemudian kurangnya pemahaman baik oleh pengguna maupun penyedia jasa, kurang tepat dalam pemilihan jenis kontrak, dan desain yang tidak sesuai kondisi lapangan.

Faktor penyebabnya dapat ditimbulkan akibat faktor perubahan lingkup pekerjaan, keterbatasan personil, kurang jelasnya spesifikasi teknis, faktor penghematan anggaran, dan lain sebagainya.“Hal tersebut tidak boleh dibiarkan. Sebab, jika pembangunan infrastruktur terhambat karena sengketa atau permasalahan lain dalam hal kontrak kerja konstruksi, maka masyarakat yang akan dirugikan, belum lagi kerugian dalam hal anggaran yang bisa saja diambil dari APBN”, ungkap Sumito.

Untuk meminimalisasi sengketa konstruksi, Kementerian PUPR terus melakukan peningkatan kompetensi pengguna dan penyedia jasa konstruksi, pemenuhan kelengkapan sebelum dimulainya pekerjaan, dan menerapkan kontrak kerja konstruksi sesuai perundang-undangan yang berlaku. 

Kementerian PUPR telah melakukan berbagai langkah, antara lain melakukan penyusunan standar kontrak kerja konstruksi, meningkatkan kompetensi pengguna dan penyedia jasa melalui bimbingan teknis, menyediakan narasumber yang kompeten, melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap tertib penyelenggaraan kontrak konstruksi di lingkungan Kementerian PUPR. 

“Serta menyediakan sarana diskusi atau konsultasi penyelesaian permasalahan kontrak konstruksi.”ujarnya.

Dia menambahkan, kontrak kerja konstruksi paling sedikit harus mencakup uraian mengenai  para pihak, rumusan pekerjaan, masa pertanggungjawaban, hak dan kewajiban yang setara, dan penggunaan tenaga kerja konstruksi. 

Selain itu, cara pembayaran, wan prestasi, penyelesaian perselisihan, pemutusan kontrak kerja konstruksi, keadaan memaksa, kegagalan bangunan, perlindungan pekerja, perlindungan terhadap pihak ketiga, aspek lingkungan, jaminan atas risiko, dan pilihan penyelesaian sengketa konstruksi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement