REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Industri pariwisata halal global memiliki potensi yang sangat besar, dengan kapitalisasi pasar sebesar 1,3 triliun dolar AS. Namun, potensi yang besar ini belum banyak dilirik oleh praktisi wisata di Indonesia.
Sekjen Perkumpulan Pariwisata Halal Indonesia (PPHI), Imaduddin Indrissobir menjelaskan, dari kapitalisasi pasar sebesar 1,3 triliun dolar AS, sebanyak 151 miliar dolar AS didorong dari pasar negara-negara Muslim. Angka tersebut di luar umrah dan haji yang sebesar 17 miliar dolar AS. Jumlah ini hampir setara dengan pasar Cina yang sebesar 168 miliar dolar AS, menurut data Thompson Reuters.
"Leisure industry besarnya delapan kali lipat dari umrah dan haji. Tapi lebih banyak pelaku usaha yang menyasar ke haji dan umrah. Ini potensi besar yang belum digarap," kata Imaduddin kepada Republika.co.id, Kamis (1/11).
Timur Tengah menjadi incaran bagi para pelaku industri wisata halal, dengan konsumsi wisata yang mencapai 80 miliar dolar AS. Dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, Indonesia harus dapat memanfaatkan potensi tersebut.
Perkembangan wisata halal di Indonesia bergantung pada tiga hal. Pertama, konektivitas terutama bandara dengan destinasi- destinasi wisata. Meskipun memiliki destinasi wisata bagus, sulitnya aksesibilitas akan mempengaruhi minat para wisatawan untuk datang kesana.
Kedua, fasilitas seperti restoran halal dan mushala atau masjid. Untuk Indonesia dengan ribuan masjid, ini tidak menjadi persoalan. Namun untuk restoran halal perlu sertifikasi halal untuk meyakinkan para wisatawan Muslim mancanegara. "Karena mereka belum merasa aman kalau tidak ada sertifikasi halal," ujarnya.
Sementara itu, untuk wisata halal di luar negeri, saat ini sudah banyak negara- negara yang mengincar wisatawan muslim dari Indonesia. Jepang dan Korea Selatan kini bersaing untuk meraup keuntungan dari potensi wisatawan muslim Indonesia yang mencapai 9,1 miliar dolar AS.
Bagi para pelaku industri wisata halal, terdapat tiga kategori bagi fasilitas Muslim friendly. Pertama, must to have (kebutuhan dasar) seperti mushala dan tempat wudhu. Kedua, kategori good to have yakni fasilitas ditambah dengan toilet yang menyediakan air untuk istinja (cebok). Ketiga, kategori nice to have yakni destinasi wisata tidak menyajikan atraksi yang tidak halal seperti penampilan yang menunjukkan aurat.
"Setiap tahun marketnya tumbuh sekitar 10 persen. Itu kenapa teman-teman kita dari luar melihat Indonesia sebagai satu potensi," kata Imaddudin.