Rabu 31 Oct 2018 23:03 WIB

RUU SDA Diminta Fokus ke Masalah Pelayanan Air Minum

Faisal Basri menyebut potensi pengeolaan sumber daya air yang dikelola baru 18 persen

Pengelolaan air Palyja
Foto: Republika/Wihdan
Pengelolaan air Palyja

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom Faisal Basri menyarankan Rancangan Undang-Undang Sumber Daya Air (RUU SDA) fokus kepada pengelolaan air minum. Alasannya ia menilai ada manajemen yang salah dalam pengelolaan air minum selama ini.  

Dia mencontohkan, dengan potensi sumber daya Indonesia sebesar 3,9 triliun meter kubik per tahun, yang telah dapat dikelola baru mencapai sekitar 691 miliar meter kubik atau 18 persen dari potensi. “Jadi ada potensi yang belum termanfaatkan sekitar 3,2 triliun meter kubik per tahun atau 82 persen dan itu terbuang ke laut dengan percuma. Menurut saya, masalah yang dihadapi hingga saat ini adalah jeleknya manajemen air kita,” ungkapnya dalam diskusi “Peranan Regulasi Dalam Memenuhi Hak Atas Air di Indonesia” yang diadakan Fakultas Hukum Universitas Ibn Khaldun Bogor dan Center for Regulation, Policy and Governance (CRPG), Senin (29/1). 

Faisal, berdasarkan siaran pers yang diterima, melihat kebutuhan terhadap air saat ini lebih cepat daripada mengelola airnya, sehingga memicu kelangkaan air daerah. “Lantas yang disalahkan pengusahaan air dan dikambinghitamkan. Padahal penggunaan air oleh mereka itu hanya dua persen saja,” ucapnya. 

Sementara itu, peneliti CRPG M Mova Al’Afghani mengatakan RUU SDA belum cukup mengakomodir hak atas air dalam konteks pelayanan air minum dan sanitasi. Dia melihat RUU SDA hanya difokuskan untuk mengatur air sebagai sumberdaya. “Apalagi ada usulan untuk mengatur masalah air minum dan sanitasi dalam Undang-Undang tersendiri,” ujarnya.

Karenanya, dia mengusulkan agar RUU SDA membuat peluang pengaturan lebih detail atas air minum dan sanitasi karena empat alasan. Pertama, karena pemerintah memiliki target 100 persen akses air universal dan nol persen rakyat Indonesia buang air besar sembarangan pada 2019. Hal ini akan memerlukan instrumen hukum. 

Kedua, karena UU Air Minum dan Sanitasi tidak mungkin diselesaikan dalam waktu cepat. Ketiga, karena pada prakteknya nanti peraturan air minum dan sanitasi akan dicantolkan pada UU SDA juga. Keempat, karena perintah MK untuk menjamin hak atas air tidak mungkin cukup dilaksanakan dengan RUU SDA dalam format saat ini. 

Sedangkan Regional Coordinator Global Water Partnership Southeast Asia (GWP-SEA) Fany Wedahuditama mengatakan, air untuk kebutuhan sanitasi dan air limbah sebagai bagian dari kebutuhan dasar belum terakomodir dalam RUU SDA.“Masalah sanitasi di RUU SDA hanya satu kata saja. Ini akan bermasalah nantinya untuk yang punya tanggung jawab mengamankan air limbah untuk membuat peraturan turunannya karena tidak punya cantolan di undang-undang,” katanya. 

Menurutnya, RUU SDA itu sebaiknya bisa mengakomodasi kesejahteraan masyarakat, aktifitas ekonomi berkelanjutan, dan kebencanaan terkait air. "Seharusnya semua bia diakomodasi dalam satu aturan yang detail seperti RUU SDA supaya ada cantolan saat membuat peratuan turunannya," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement