REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Keputusan pemerintah memperbaiki data pangan diapresiasi. Ekonom Universitas Indonesia Lana Soelistianingsih mengatakan, data pangan seperti produksi beras memang harus dibuat seakurat mungkin.
Dia mengatakan, kurang akuratnya data luas panen dan produksi padi selama ini menyebabkan pemerintah tidak bisa membuat kebijakan yang tepat. Menurut dia, kondisi tersebut telah menimbulkan implikasi berupa pasokan beras yang tidak memadai sehingga terjadi kelangkaan dan kenaikan harga. "Makanya, harga berasnya bisa melompat-lompat, tidak stabil. Padahal, itu merupakan pangan yang paling dibutuhkan oleh masyarakat kita," ujar Lana.
Lana mengingatkan, proyeksi produksi yang terlalu tinggi akibat perkiraan luas lahan baku sawah yang salah, bisa membuat defisit beras semakin besar dan meningkatkan ketergantungan impor. Oleh karena itu, ia mengapresiasi upaya BPS yang ingin mengeluarkan data produksi beras terbaru secara rutin.
Dia menyebut, data ini bisa menjadi langkah untuk terus meningkatkan kinerja sektor pertanian serta terciptanya kebijakan penyediaan beras yang lebih memadai. "Semua pihak harus menerima," katanya.
Kepala Badan Pusat Statistik Suharianto sebelumnya menyatakan, metode kerangka sampel area (KSA) yang baru dirilis merupakan metode terbaik dalam perhitungan data produksi padi. KSA merupakan metode perhitungan luas panen, khususnya tanaman padi, dengan memanfaatkan teknologi citra satelit yang berasal dari Badan Informasi dan Geospasial (BIG) dan peta lahan baku sawah yang berasal dari Kementerian Agraria dan Tata Ruang.
Perhitungan produksi beras dimulai dengan verifikasi luas lahan baku sawah berdasarkan Ketetapan Menteri ATR/Kepala BPN Nomor 339/Kep-23.3/X/2018 tanggal 8 Oktober 2018. Luas lahan baku sawah ditetapkan sebesar 7,1 juta hektare atau lebih rendah dari surat keputusan yang sama pada 2013 sebesar 7,7 juta hektare.
Selanjutnya, BPS melakukan perhitungan luas panen dengan metode KSA yang dikembangkan BPPT. Pengumpulan data tersebut diambil dari empat peta, yakni peta rupa bumi, peta administrasi, peta lahan baku sawah, dan peta tutupan lahan.
BPS pun melakukan pengambilan sampel secara statistik untuk mengetahui fase pertumbuhan padi yang diamati. Dengan pengamatan setiap bulan, BPS mendapatkan data produksi dan potensi hingga tiga bulan ke depan.
Setelah menetapkan produktivitas per hektare, BPS dapat menetapkan angka konversi dari gabah kering panen (GKP) ke gabah kering (GKG) dan angka konversi dari GKG ke beras. Adapun data produksi beras diambil dari verifikasi luas lahan baku sawah di 16 provinsi yang merupakan sentra produksi beras dengan kontribusi mencapai 87 persen.