REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Pusat Statistik (BPS) menggunakan metode kerangka sampel area (KSA) untuk melakukan penghitungan luas panen gabah kering giling (GKG). Hasil penghitungan sampel area tersebut kemudian dikonversi menjadi proyeksi produksi beras secara nasional.
"Kami menggunakan sebuah metode yang namanya kerangka sampel area merupakan inovasi yang dilakukan BPPT dan sudah mendapat penghargaan dari LIPI," kata Kepala BPS Suhariyanto, di Kantor Wapres Jakarta, Senin (22/10).
Menurutnya, selama tiga tahun terakhir, BPS tidak merilis data proyeksi produksi beras karena data luas lahan dari Kementerian Pertanian dinilai tidak valid untuk menghitung luas panen gabah tersebut.
BPS melakukan perbaikan metode penghitungan proyeksi produksi beras tersebut bekerja sama dengan Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR), Badan Informasi Geospasial (BIG), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), dan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan).
Suhariyanto menjelaskan pembaruan informasi luas lahan bahan baku sawah pada 2018 mencapai 7,1 juta hektare. Angka tersebut mengalami penurunan sekitar 635 ribu hektare.
"Ini akan menjadi dasar penghitungan untuk mengestimasi angka produksi, dan saya 'summary'-kan dengan luas bahan baku sawah 7,1 juta hektare dan menggunakan metode KSA, maka luas panen padi pada 2018 diperkirakan 10,9 juta hektare," ujar Suhariyanto.
Dari hasil luas panen tersebut, lanjutnya, produksi padi dalam bentuk GKG diperkirakan sebanyak 56,54 juta ton atau setara dengan 32,42 juta ton beras. Sementara itu, angka konsumsi beras rata-rata per provinsi pada 2017 sebesar 117,58 kg per kapita per tahun atau setara dengan total konsumsi 29,50 juta ton secara nasional.
"Jadi (nilai) produksi dikurangi konsumsi berarti masih ada surplus 2,85 juta (ton). Surplus ini tersebar di 14,1 juta rumah tangga produsen. Sekitar 47 persen ada stok di penggilingan, ada stok di pedagang dan sebagainya," ujarnya menambahkan.