REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sedang mengolah peraturan mengenai layanan urun dana melalui penawaran saham berbasis teknologi informasi atau disebut equity crowd funding. Menurut Direktur Pengaturan Pasar Modal OJK Lutfhy Zain Fuady, regulasi ini akan keluar dalam bentuk peraturan OJK dan direncanakan rilis pada akhir tahun.
Luthfy menjelaskan, layanan equity crowd funding ini cocok sebagai alternatif sumber pendanaan terutama bagi perusahaan rintisan (startup). Bentuk investasinya sendiri adalah berupa penyertaan saham. “Syaratnya, perusahaan harus berbadan hukum Perseroan Terbatas (PT) yang memiliki kekayaan di bawah Rp 10 miliar, di luar tanah dan bangunan,” tuturnya ketika dihubungi Republika.co.id, Senin (22/10).
Skema equity crowd funding, diyakini Luthfy, akan membantu pertumbuhan ekonomi melalui aliran dana kepada perusahaan rintisan, yang disebut sebagai penerbit, maupun pengguna lain dalam ekonomi riil. Secara garis besar, skema ini mampu mengisi kekosongan yang tidak dapat tertutupi oleh perbankan.
Dalam skema equity crowd funding, setidaknya ada tiga pihak yang terlibat. Selain perusahaan rintisan dan investor, ada perusahaan yang bertindak sebagai penyelenggara. Ia menjadi pihak yang akan memasarkan saham perusahaan di platform digital. "Sama seperti penerbit, penyelenggara harus Perseroan Terbatas (PT) atau koperasi," ujar Luthfy.
Lutfhy menambahkan, penyelenggara juga harus mengajukan perizinan ke OJK dan mempunyai permodalan di atas Rp 2,5 miliar. Selain itu, penyelenggara harus memiliki keahlian di bidang informasi dan teknologi karena akan memanfaatkan platform digital untuk memasarkan saham. Penyelenggara juga harus memiliki tenaga kerja yang ahli dalam melakukan peninjauan kondisi penerbit, khususnya di sisi laporan keuangan.
Untuk laporan keuangan penerbit, Lutfhy menjelaskan, minimal disusun menurut Standar Akuntasi Keuangan Entitas Tanpa Akuntabilitas Publik (SAK-ETAP) non-audited. Sebab, standarisasi tersebut akan memudahkan penerbit dalam mencari pendanaan melalui perbankan. "Biayanya juga jadi lebih efisien," ujarnya.
Poin-poin tersebut akan dituangkan dalam peraturan OJK mengenai equity crowd funding. Lutfhy menjelaskan, aturan sudah dalam tahap pengkajian dan diharapkan masuk dalam Rapat Dewan Komisioner (RDK) pada bulan ini. Dalam jeda 15 hingga 30 hari setelahnya, rancangan peraturan diprediksi sudah bisa diundangkan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham).
Ketua Asosiasi Usaha Mikro, Kecil dan Menengah Indonesia (Akumindo) Ikhsan Ingratubun menjelaskan, equity crowd funding sebenarnya tidak jauh berbeda dengan sistem koperasi simpan pinjam (KSP). Sistemnya, meminta kepada pihak yang dapat bertindak sebagai investor untuk menanamkan investasi kepada usahanya. "Hanya saja, kalau skema baru ini menggunakan digital, lebih modern dibandingkan KSP," ucapnya.
Ikhsan menjelaskan, skema equity crowd funding akan sulit diterima oleh pelaku UKM yang juga rencananya disasar OJK. Sebab, potensi konflik antar pengusaha dan investor terbilang tinggi. Apalagi, UKM rentan mengalami penurunan penjualan usaha yang tidak menutup kemungkinan berujung pada bangkrut,
Selain itu, Ikhsan mempertanyakan kesesuaian skema tentang equity crowd funding dengan hukum di Indonesia yang masih memprioritaskan berkas terlampir dalam bentuk kertas atau konvensional. "Mungkin platformnya digital, tapi ketika butuh dokumen-dokumen yang berbentuk kertas, bagaimana? Ini harus diselaraskan," tuturnya