REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejumlah Bank Perkreditan Rakyat (BPR) mengeluhkan kredit lesu karena masyarakat beralih pada pinjaman dari financial technology (fintech yang lebih cepat cair. Menanggapi hal ini Otoritas Jasa Keuangan (OJK) justru mendorong perusahaan fintech berkolaborasi dengan perbankan untuk melancarkan kredit.
Kerja sama bisa dilakukan dengan berbagai cara termasuk menjadikan fintech sebagai jembatan verifikasi kemampuan nasabah bagi perbankan. Kepala Group Inovasi Keuangan Digital dan Pengembangan Keuangan Mikro OJK Triyono mengatakan dalam dua tahun terakhir muncul tren bahwa fintech bisa menjadi awalan nasabah membangun portofolio kreditnya.
Setelah dinilai baik, maka ia bisa menjadi nasabah kredit bank yang lebih besar. "Kerja sama dan kolaborasi itu kita sangat harapkan, jangan sampai malah disrupsi, misal ada nasabah baik di fintech, kredit lancar, itu dia adalah kandidat nasabah bank yang baik," kata dia kepada Republika.co.id baru-baru ini.
Perbankan juga bisa mengalokasikan dana Kredit Tanpa Agunan (KTA) untuk masuk pada sistem fintech sebagai peminjam. Meski demikian, tambah Triyono kemungkinan ini dinilai kecil karena regulasi perbankan yang meminimalisir risiko.
"Itu bisa barangkali, tapi ada standar yang ketat di bank, alokasi dananya tidak bisa besar, KTA bisa dimanfaatkan tapi porsinya tidak banyak," kata dia.
Triyono mengharapkan kolaborasi seperti ini lebih dikedepannya daripada sisi negatifnya. Fintech selama ini dinilai menggeser posisi sejumlah lembaga keuangan skala mikro dalam menggaet nasabah.
Lebih lanjut Triyono menyampaikan ruang kredit masih luas dan segmentasi pasar berbeda. Fintech dapat memberikan pinjaman singkat dengan tenor pembayaran lebih cepat, termasuk dana yang lebih cepat cair. Ini lebih dipilih oleh nasabah milenial yang menginginkan proses cepat meski dengan bunga lebih tinggi.
Menurut data OJK, fintech Peer to Peer Lending menempati porsi 60 persen dari total fintech yang ada di Indonesia. Jumlah yang terdaftar hingga saat ini adalah 70 perusahaan. Pertumbuhannya mencapai 355 persen dengan nilai Rp 11 triliun dalam satu setengah tahun.