REPUBLIKA.CO.ID, NUSA DUA -- People's Bank of China atau Bank Sentral Cina menegaskan posisinya dalam menjalankan kebijakan moneter tetap netral. Gubernur Bank Sentral Cina, Yi Gang, juga memandang bahwa Cina menjalankan kebijakan moneter yang tak longgar ataupun ketat. Ia juga menyadari posisi negaranya dalam perang dagang dengan Amerika Serikat (AS) melaui instrumen tarif perdagangan.
"Saya pikir ketegangan perdagangan telah menjadi masalah yang menyebabkan ekspektasi negatif dan menciptakan ketidakpastian," jelas Yi Gang dalam Seminar Gubernur Bank Sentral Anggota G30 di Westin Hotel Nusa Dua Bali, Ahad (14/10).
Yi Gang juga mengaku sependapat dengan Dana Moneter Internasional (IMF) bahwa ketegangan pasar akibat perang dagang antara Cina dan AS mampu menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia. IMF sendiri menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia menjadi 3,7 persen, dari proyeksi sebelumnya 3,9 persen pada 2018 hingga 2019.
Berdasarkan kondisi tersebut, Cina yakin masih memiliki ruang yang cukup untuk melakukan penyesuaian suku bunga acuan dan rasio simpanan wajib (reserve requirement ratio). Yi Gang juga menyampaikan bahwa ekonomi Cina masih berjalan di arah yang tepat, termasuk dengan pergerakan inflasi rendah di kisaran 2 persen.
"Kebijakan moneter kita adalah pruden, posisi kami netral. Cina masih memiliki ruang memadai untuk penyesuaian dalam dua konteks yakni suku bunga dan rasio simpanan wajib," katanya.
Sementara itu, Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menyebutkan bahwa Indonesia memiliki fundamental ekonomi yang masih cukup kuat, plus kebijakan reformasi struktural yang terus dilakukan. Perry juga kembali menyuarakan adanya kolaborasi antarpemangku kebijakan moneter dunia untuk menanggulangi ketidakpastian global.