Jumat 12 Oct 2018 17:58 WIB

Pengusaha Tekstil Wait and See di Tengah Fluktuasi Rupiah

Penggunaan bahan baku impor di industri tekstil mencapai lebih dari 50 persen.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Friska Yolanda
Pekerja menjahit kain di industri tekstil rumahan C59 di Bandung, Jawa Barat, Senin (25/6).
Foto: Antara/Raisan Al Farisi
Pekerja menjahit kain di industri tekstil rumahan C59 di Bandung, Jawa Barat, Senin (25/6).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengusaha bidang tekstil belum berencana menaikkan harga jual lagi di tengah penguatan dolar terhadap rupiah. Terakhir, pada September, industri tekstil mengerek harga sekitar delapan sampai 10 persen.

Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat menjelaskan, kenaikkan harga harus dilakukan oleh industri mengingat masih tingginya penggunaan bahan baku impor. Tingkat kandungan impor mencapai lebih dari 50 persen dengan nilai sekitar 10 miliar dolar AS per tahun. 

"Pengusaha tidak bisa menahan kenaikan harga, apalagi untuk industri dalam negeri yang berorientasi pasar domestik," ujarnya saat dihubungi Republika.co.id, Jumat (12/10).

Kapas dan benang merupakan bahan baku yang paling dominan diimpor dari Cina. Menurut Ade, impor tetap dibutuhkan karena sebagian produk tekstil belum bisa diproduksi oleh industri dalam negeri. Namun, yang bisa diimpor adalah bahan penolong dan bahan baku, bukan berupa kain jadi maupun pakaian jadi.

Ade menjelaskan, penguatan dolar AS juga berdampak pada industri yang fokus pada pasar ekspor. Harga bahan baku yang naik menyebabkan produksi mereka sedikit terhambat. Sebab, komponen biayanya lebih besar dibanding dengan biaya untuk tenaga kerja. Selain itu, dibandingkan beban pajak yang harus dibayar, margin keuntungan pengusaha menjadi semakin kecil.

Di samping tingginya penggunaan bahan baku impor, Ade menyebutkan, permasalahan lain yang dihadapi industri tekstil adalah impor kain dan pakaian jadi ilegal. Pada tahun lalu, kerugian negara dari pajak dan bea akibat impor ilegal ini mencapai Rp 40 trilun hingga Rp 50 triliun. "Pasar domestik jadi hancur. Mereka merugi dan tutup," ucapnya.

Ade menganjurkan, pemerintah melakukan upaya-upaya untuk mencegah kondisi tersebut semakin buruk. Di antaranya dengan memperketat pengaturan proses tata niaga dan prosedur kepabanean. Impor bahan baku dan penolong pun sebaiknya menggunakan Pusat Logistik Berikat (PLB), baik untuk yang impor dari luar negeri maupun impor dari perusahaan Kawasan Berikat di Indonesia.

Sekretaris Jendral Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSBFI) Redma Gita Wiraswasta menjelaskan, pemerintah saat ini terlalu mudah membiarkan produk luar negeri untuk masuk ke Indonesia. Buktinya, pasar dalam negeri yang bernilai 21 miliar dolar AS justru diisi oleh produk impor yang membuat industri lokal sulit berkembang.

Redma menuturkan, impor garmen saat ini mencapai 800 ribu ton per tahun, sedangkan ekspornya hanya 600 ribu ton. Sebanyak 200ribu ton masuk ke pasar lokal. "Surplus neraca perdagangan kita jadi semakin menurun. Pada 2008-2009, surplus mencapai 7-8 miliar dolar AS yang sekarang hanya sekitar 3-4 miliar dolar AS," tuturnya.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement