Jumat 12 Oct 2018 15:16 WIB

IFC Jembatani Investor Danai Pembiayaan Bencana

Pasar pembiayaan bencana saat ini mencapai 228 miliar dolar AS.

Rep: Mutia Ramadhani/ Red: Friska Yolanda
Pleno Pertemuan IMF. Ketua Pertemuan Tahunan IMF - Bank Dunia 2018 Petteri Orpo menyampaikan paparan pada pleno Pertemuan Tahunan IMF - Bank Dunia Grup 2018 di Nusa Dua, Bali, Jumat (12/10).
Foto: Republika/Wihdan Hidayat
Pleno Pertemuan IMF. Ketua Pertemuan Tahunan IMF - Bank Dunia 2018 Petteri Orpo menyampaikan paparan pada pleno Pertemuan Tahunan IMF - Bank Dunia Grup 2018 di Nusa Dua, Bali, Jumat (12/10).

REPUBLIKA.CO.ID, BADUNG -- International Finance Corporation (IFC) menjembani investor institusional dengan potensi aset hampir 100 triliun dolar AS di seluruh dunia masuk ke pasar pembiayaan bencana. Hal ini dilakukan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi berkelanjutan 2030.

Anggota Grup Bank Dunia ini memperkenalkan prinsip-prinsip dan standar yang bisa digunakan untuk pembiayaan ini. CEO IFC Philippe Le Houerou mengatakan pasar pembiayaan bencana saat ini mencapai 228 miliar dolar AS, meningkat lima kali lipat sejak 2013. Namun, konsesus baku tentang investasi jenis ini masih belum ada.

"Karena masih baru, saatnya kita mengembangkan prinsip-prinsip umum bagaimana bisa mengelola investasi semacam ini," katanya di sela Pertemuan Tahunan Dana Moneter Internasional (IMF)-Bank Dunia (World Bank) 2018 di Bali, Jumat (12/10).

Le Houérou mengatakan IFC ingin menumbuhkan potensi pasar pembiayaan ini dengan mengajak lebih banyak investor potensial. Ia mencontohkan negara-negara berkembang yang membutuhkan pembiayaan tinggi, khususnya setelah dilanda bencana.

Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati mengatakan Indonesia salah satu negara berisiko bencana tinggi, seperti gempa bumi di Lombok, Palu, dan Donggala yang terjadi baru-baru ini. Kerugian yang diderita atas bencana ini tidak sedikit, sementara kemampuan pemerintah menyediakan pendanaan untuk bencana dan dampak yang ditimbulkan terbatas.

Penanganan bencana Indonesia saat ini, kata Sri Mulyani masih bergantung pada APBN, APBD, bahkan realokasi anggaran. Identifikasi semua risiko bencana alam dan memikirkan mekanisme fiskal serta instrumen keuangan terbaik diperlukan.

"Ini untuk mendukung rehabilitasi paling efektif dan paling cepat, sebuah strategi jangka panjang untuk membangun ketahanan terhadap bencana alam, khususnya dari sisi fiskal," katanya.

Indonesia menanggung kerugian akibat bencana sepanjang 2004-2013 mencapai Rp 126,7 triliun. Selama 12 tahun terakhir, pemerintah rata-rata hanya menyediakan dana cadangan bencana Rp 3,1 triliun. Sebagai gambaran, gempa bumi dan tsunami Aceh 2004 saja menelan kerugian Rp 51,4 triliun.

"Jurang bencana ini salah satu yang menyebabkan Indonesia terpapar risiko fiskal akibat bencana alam," katanya. 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement