REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom Institute for Development of Economics and Finance(INDEF) Bhima Yudhistira mengatakan ada risiko jika bahan bakar minyak (BBM) nonsubsidi tidak dinaikkan. Untuk itu, Bhima menilai wajar jika kenaikkan BBM nonsubsidi saat ini dilakukan.
Bhima menuturkan dari sisi fiskal akan ada dampak jika BBM nonsubsidi tidak dilakukan. "Memang ada risiko contingent liabilities ke Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) jika keuangan Pertamina sampai bermasalah karena harus menahan kenaikan BBM nonsubsidi," kata Bhima kepada Republika.co.id, Kamis (11/10).
Untuk itu, Bhima menegaskan kenaikkan BBM nonsubsidi perlu dilakukan saat ini. Hal itu menurutnya sudah sangat sesuai dengan mekanisme pasar di tengah harga minyak semakin mahal, rupiah melemah, dan defisit migas melebar.
Hanya saja, Bhima menuturkan ada ketentuan yang diperlu diperhatikan dalam menaikkan harga BBM nonsubsidi. "Kenaikkan seharusnya gradual di bawah 10 persen sehingga pelaku usaha dan konsumen bisa lebih siap mengantisipasi efeknya," jelas Bhima.
Untuk itu, Bhima mengkhawatirkan pembatalan BBM jenis Premium yang juga seharusnya mengalami kenaikkan. Jika BBM Premium juga tidak disesuaikan nantinya Pertamina akan menanggung selisih harga dan efeknya berpotensi mengalami kerugian mencapai Rp 20 triliun.
Sebelumnya, pemerintah memastikan menunda kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) jenis Premium. Kenaikan harga akan dibahas ulang menunggu kesiapan PT Pertamina (Persero).
"Sesuai arahan Bapak Presiden rencana kenaikan harga Premium di Jamali menjadi Rp 7.000 dan di luar Jamali menjadi Rp 6.900, secepatnya pukul 18.00 WIB hari ini, agar ditunda dan dibahas ulang sambil menunggu kesiapan PT Pertamina," ujar Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasus Jonan di Bali, Rabu (10/10).