Selasa 09 Oct 2018 13:27 WIB

Tak Punya Tempat Penyimpanan, Bulog Sulit Beli Bawang Petani

Pemerintah dinilai hanya mendorong produksi tapi tidak memikirkan penyimpanan.

Rep: Lilis Sri Handayani/ Red: Friska Yolanda
Ilustrasi panen bawang merah
Ilustrasi panen bawang merah

REPUBLIKA.CO.ID, CIREBON -- Harapan petani bawang merah di Kabupaten Cirebon agar pemerintah membeli hasil panen mereka, sulit terwujud. Mereka pun harus berjuang sendiri menghadapi anjloknya harga bawang merah.

Bulog Cirebon, sebagai badan usaha milik negara (BUMN) yang diharapkan bisa berperan sebagai stabilitator harga, terkendala soal ketiadaan tempat penyimpanan bawang merah. Karenanya, mereka hingga kini tak bisa menyerap bawang merah milik petani.

"Bulog Cirebon tak punya sarana penyimpanan bawang merah. Itu yang jadi kendala (dalam penyerapan bawang merah)," kata Kepala Bulog Sub Divisi Regional Cirebon, Dedi Apriliyadi, kepada Republika.co.id, Selasa (9/10).

Meski tak bisa membeli bawang merah langsung dari petani, Dedi mengaku sudah berupaya mencarikan pembeli untuk mereka. Namun, upaya tersebut juga terkendala rendahnya harga saat ini sehingga sulit bersaing dengan pasaran. Selain itu, hingga saat ini, harga pokok pembelian (HPP) bawang merah juga tidak ada.

Sebelumnya, seorang petani bawang merah asal Desa Karangwangun, Kecamatan Babakan, Kabupaten Cirebon, Wasirudin, menyebutkan, harga bawang merah di tingkat petani kini hanya Rp 5.000-Rp 6.000 per kilogram (kg). Harga itu jauh lebih rendah dibandingkan harga break event point (BEP) yang mencapai minimal Rp 10 ribu per kg.

"Di saat harga jatuh seperti sekarang, pemerintah seharusnya membeli bawang merah milik petani," ujar Wasirudin.

Namun, lanjut Wasirudin, akibat tidak adanya peran pemerintah, para petani harus menjual bawang merahnya ke para bakul meski dengan harga rendah. Adapula petani yang menjualnya langsung ke pasar induk Kramat Jati, Jakarta Timur ataupun pasar induk Cibitung, Bekasi.

Meski bisa memperoleh harga sedikit lebih tinggi saat menjualnya ke pasar induk, petani harus merogoh kocek yang besar untuk biaya transportasi pengangkutannya. Karenanya, banyak petani yang lebih memilih menjualnya ke para bakul yang datang ke sawah.

Wasirudin mengungkapkan, meski harga bawang merah saat ini anjlok, dia dan petani lainnya memilih untuk tidak menyimpan hasil panen mereka dan tetap langsung menjualnya. Pasalnya, mereka membutuhkan uang untuk kebutuhan hidup keluarga sehari-hari maupun membayar utang ke bank dan kios pertanian.

Menurut Wasirudin, anjloknya harga bawang merah itu disebabkan kebijakan pemerintah yang jor-joran mendorong penanaman bawang merah di berbagai daerah di Indonesia. Akibatnya, saat panen raya seperti sekarang, pasokan bawang merah jadi sangat berlimpah.

Wasirudin mengungkapkan, pemerintah semestinya jangan hanya mendorong produksinya saja. Namun, harus pula memikirkan penyerapan dan pemasaran bawang merah milik petani.

Nasib petani bawang merah di barat Kabupaten Indramayu lebih merana. Selain anjloknya harga saat panen, tanaman bawang merah milik mereka juga diserang hama ulat hingga produksinya turun drastis.

Seorang petani bawang merah asal Desa Limpas, Kecamatan Patrol, Tato, menyebutkan, dalam kondisi normal, hasil panen bawang merahnya mencapai sekitar delapan ton per bau (1 bau = 7.000 meter persegi). Namun akibat serangan hama ulat, hasil panennya kini hanya tiga ton per bau.

"Kalau hasil panen berlimpah, kerugian tidak terlalu besar meski harganya rendah. Ini sudah panen turun, harga juga anjlok, ‘’ keluh Tato.

Tato mengaku, modal yang dikeluarkannya kini tak bisa kembali. Untuk itu, meski ke depan akan tetap menanam bawang merah, dia akan memperkecil luasan lahannya dari satu bau menjadi seperempat bau.

Baca juga, Harga Bawang Merah Petani Cirebon Semakin Anjlok

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement