REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Pusat Statistik (BPS) belum bisa mengukur dampak bencana alam gempa bumi dan tsunami yang terjadi di Palu maupun Donggala kepada laju inflasi nasional secara keseluruhan. Terlebih lagi, tidak semua daerah termasuk dalam pencatatan inflasi oleh BPS.
"Nanti kita lihat, ini kan baru kejadiannya. Kalau misalnya bantuannya bagus, semuanya rapi sampai pada tempat, tentunya tidak masalah besar, nanti bisa dipotret di inflasi Palu," kata Kepala BPS Suhariyanto di Jakarta, Senin (1/10).
Suhariyanto menjelaskan proses pencatatan laju inflasi mencakup seluruh variabel penyebab inflasi mulai dari bahan makanan hingga tarif angkutan di satu wilayah. Namun, belum tentu wilayah terdampak bencana alam merupakan salah satu dari 82 daerah yang selama ini termasuk dalam pencatatan inflasi oleh BPS.
Ia mencontohkan ketika terjadi bencana gempa bumi di Lombok, Nusa Tenggara Barat, tidak semua wilayah tersebut terdampak oleh bencana, karena hanya terjadi di kawasan Lombok bagian utara. "Pada September, NTB terjadi deflasi 0,29 persen, tapi perlu diingat bencana hanya di beberapa spot Lombok utara, kita catat hanya di Mataram," kata Suhariyanto.
Sebelumnya, gempa bumi mengguncang Palu dan Donggala dengan kekuatan 7,4 Skala Richter (SR) yang diikuti dengan berbagai gempa susulan di atas 5 SR. Selain mengakibatkan kerusakan bangunan, gempa bumi juga memicu tsunami yang melanda kawasan tersebut.
Sementara itu, Kepala Pusat Data, Informasi dan Hubungan Masyarakat Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Sutopo Purwo Nugroho mengatakan korban meninggal dunia akibat gempa dan tsunami di Sulawesi Tengah sebanyak 844 orang. "Data itu masih bisa bertambah karena jenazah terus berdatangan," kata Sutopo dalam jumpa pers tentang penanganan gempa dan tsunami Sulawesi Tengah di Graha BNPB, Jakarta.