Senin 01 Oct 2018 14:46 WIB

Mengingat Kembali Ruh Muamalat

Cetak biru bank murni syariah tidak boleh runtuh.

Rep: Lida Puspaningtyas/ Red: Friska Yolanda
Bank Muamalat
Foto: Republika/Wihdan Hidayat
Bank Muamalat

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Muamalat berdiri atas prakarsa dua presiden Indonesia, Soeharto dan BJ Habibie. Kedua orang dengan pengaruh magis itu merealisasikan saran Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang berkesimpulan penghindaran terhadap riba.

Dalam konferensi ulama di Hotel Safari, Cisarua, Bogor, pada 1991, para ulama sepakat bahwa Indonesia sangat butuh akan bank syariah. Menjawab hal tersebut, Presiden Soeharto turun tangan mendapuk dirinya sendiri sebagai penggerak utama pendirian bank syariah pertama di Indonesia. 

Ia mengerahkan semua pejabat, kementerian, tokoh negara, pegawai negeri sipil untuk ikut andil di dalamnya. Direktur Utama Bank Muamalat Pertama pada 1991, Zainulbahar Noor mengatakan Bank Muamalat ini berhasil berdiri karena usaha dari hulu ke hilir.

"Prakarsa para ulama yang tergabung di dalam MUI, dan cendekiawan muslim Indonesia yang tergabung di dalam ICMI yang sangat didorong bahkan berkat upaya keras dari Ketua ICMI pada ketika itu, Bpk Prof Dr Ing BJ Habibie, yang kemudian menjadi Presiden ke 3 Republik Indonesia," kata dia pada Republika.co.id, belum lama ini.

Zainul adalah salah seorang yang diikutkan oleh Ketua Umum MUI almarhum KH Hasan Basri dan Anggota Pengurus MUI sebagai motor penggerak kegiatan luar biasa pendirian bank Muamalat, alm Prof Amin Aziz. Ia mengingat malam-malam penuh konsep dalam Tim Kecil Pendirian Bank Islam Pertama di Indonesia itu. Hingga kemudian diberi amanah sebagai Direktur Utama pertama tahun 1991-1996, kemudian sebagai Komisaris 1996-2006.

Zainul mengatakan dua presiden saat itu membuat bank Muamalat bisa berdiri dan berjalan. Ia mengingat pada penjualan saham perdana bank Muamalat di Istana Bogor pada 3 November 1991. Presiden Soeharto saat itu memerintahkan semua pejabat tinggi tidak berdiam diri. 

Menteri-menteri kabinet saat itu juga ikut komando. Seperti Menteri Bappenas Ginanjar Kartasasmita, Menko Kesra Azwar Anas hingga pengusaha Abu Rizal Bakrie yang mengumpulkan semua pengusaha Muslim plus mereka yang duduk di korporasi-korporasi besar.

"Saat itu, kita berhasil mengumpulkan modal setor pertama lebih Rp 80 miliar, ditambah lebih Rp 20 miliar dari penjualan saham perdana di Istana Bogor," katanya. 

Untuk diketahui, kurs rupiah saat itu di level 1.977 per dolar AS. Jumlah Rp 80 miliar tentu bukan angka yang kecil.

Ada semangat besar yang menyertai hidupnya bank Muamalat, yang tetap relevan meski zaman telah berubah. Zainul masih merasakan semangat itu dalam Muamalat dan yakin umat Islam lain pun mengemasnya dengan apik di dalam diri masing-masing.

Besar harapannya ada presiden 'ketiga' yang mampu melancarkan udara segar bagi Muamalat seperti saat ia terlahir dahulu di tangan Presiden Soeharto. Presiden BJ Habibie kini turun tangan juga meminta putranya, Ilham Habibie untuk mencari celah. 

Ia bergerak mengajak membentuk kerumunan dan berupaya menyelamatkan masterpiece ayahnya dan umat Islam. Bank Muamalat tidak boleh dibiarkan jatuh dan cetak biru bank murni syariah itu tidak boleh luntur.

"Ada kekhawatiran saya apabila itu terjadi, ada rasa menyesalkan mengapa hal tersebut dapat terjadi tanpa campur tangan petinggi negeri, ada rasa tidak puas yang meski terpendam dalam hati umat Islam, memang tidak dalam bentuk protes, tapi berdampak psikologis," katanya.

Zainul mengatakan ini bukan hal sederhana. Bank Muamalat didirikan oleh lebih dari 800 ribu pemegang saham yang punya cita-cita sama. Selama seperempat abad, cita-cita itu dipertahankan dengan beragam upaya dan kebijakan.

"Kita tidak menjual saham di bursa juga karena melestarikan cita-cita itu, sehingga harapannya sekarang cita-cita itu bisa tetap kami pegang teguh," kata Zainul.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement