Kamis 27 Sep 2018 18:33 WIB

Strategi Kementan Tingkatkan Produksi Pangan

Tumpang sari menjadi solusi keterbatasan lahan.

Rep: Melisa Riska Putri/ Red: Dwi Murdaningsih
Petani memanen sawi di areal persawahan sistem tumpang sari (polyculture) di Desa Kedungori, Dempet, Demak, Jawa Tengah, Jumat (26/1)
Foto: Antara/Aji Styawan
Petani memanen sawi di areal persawahan sistem tumpang sari (polyculture) di Desa Kedungori, Dempet, Demak, Jawa Tengah, Jumat (26/1)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Pertanian (Kementan) berupaya meningkatkan produksi pangan dengan mengembangkan budidaya tumpang sari. Pola tumpang sari yang dilakukan adalah tumpang sari padi – jagung, padi – kedelai dan jagung – kedelai.

Direktur Jenderal Tanaman Pangan Kementan Sumarjo Gatot Irianto mengatakan, pascapenerapan Penambahan Areal Tanam Baru (PATB), perlu strategi baru untuk meningkatkan Luas Tambah Tanam (LTT).

“Pendekatan tumpangsari ini nantinya dapat mengeliminasi kompetisi penggunaan lahan atau komoditas dan merupakan solusi berkelanjutan terhadap keterbatasan lahan,” katanya melalui keterangan tertulis, Kamis (27/9).

Pola tumpangsari mulai diujicoba pada September hingga Desember 2018. Uji coba akan dilaksanakan di sembilan provinsi dengan total seluas 5.000 hektare. Pola ini dinilai tepat untuk menghindari potensi pengurangan luas padi jika kedelai dan jagung meningkat. 

Untuk pola padi – jagung, tiap hektare diisi populasi 250 ribu rumpun padi dengan jarak tanam 20 cm x 10 cm dengan 100 ribu batang jagung dengan jarak tanam 40 cm x 12,5 cm. Teknologi yang diterapkan pada pola tumpangsari padi – kedelai per hektarenya yakni populasi 250 ribu rumpun padi dengan jarak tanam 20 cm x 10 cm dan 166 ribu batang kedelai dengan jarak tanam 20 cm x 15 cm.

Teknologi yang diterapkan pada pola tumpang sari jagung – kedelai adalah per hektarnya populasi jagung 100 ribu batang dengan jarak tanam 40 cm x 12,5 cm, kedelai 166 ribu batang dengan jarak tanam 20 cm x 15 cm. 

Gatot juga menekankan, kunci utama tumpang sari ini yaitu penambahan populasi dan penggunaan benih berkualitas. Dengan menggunakan konfigurasi jarak tanam yang tepat, satu hektare lahan dapat menghasilkan dua hektare jagung dan satu hektare padi, dua hektare jagung dan satu hektare kedelai atau satu hektare padi dan satu hektare kedelai.

Selain itu, penanaman tumpang sari juga dapat meningkatkan kesuburan tanah sehingga mengurangi kebutuhan pupuk. Pendekatan tumpang sari ini dapat mengeliminasi persaingan lahan antar komoditas dan juga dapat mengoptimalkan produksi padi tanpa tergantung musim.

Lahan sawah beririgasi saatnya berproduksi maksimal, Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT) rendah, biaya produksi murah hasilnya maksimal dan harga gabahnya bagus. 

"Kemarau juga saat ideal untuk memutus siklus OPT. Jadi kemarau bukan petaka tetapi berkah. Kemarau dan musim hujan itu sudah manfaat masing-masing," ujar Gatot.

Penerapan tumpang sari harus memperhatikan lokasi. Lokasi pengembangan tumpang sari diantaranya di lahan sawah irigasi yang dilakukan pada akhir musim hujan.

Di lahan rawa dilakukan setelah pertanaman padi pertama, lahan kering yang tidak di sawah dilaksanakan pada awal musim hujan dan di lahan sawah tadah hujan awal musim hujan dengan populasi rapat atau sumber air dari sungai. 

Penanaman padi-jagung, jagung-kedelai, harus memperhatikan waktu tanam. Padi dan kedelai ditanam tiga pekan lebih awal dibanding jagung agar tidak ternaungi.

Sekretaris Ditjen Tanaman Pangan Maman Suherman menambahkan pertimbangan pola tumpang sari ini agar tidak terjadi persaingan penggunaaan lahan antara komoditas padi, jagung dan kedelai pada saat musim kemarau.  Menurutnya, tanam rapat memiliki keuntungan populasi. Pada lahan satu hektare, komoditas jagung bisa menghasilkan dua hektare dan padi satu hektare.

“Sehingga ada keuntungan dua hektare dari satu hektare yang kita usahakan,” ujar Maman.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement