Rabu 26 Sep 2018 13:35 WIB

Impor Turunkan Harga Gabah Petani

Masih adanya petani yang panen juga menahan kenaikan harga gabah.

Rep: Lilis Sri Handayani/ Red: Friska Yolanda
Seorang petani di Desa Cempeh, Kecamatan Lelea, Kabupaten Indramayu sedang menjemur gabah yang baru dipanennya, Rabu (4/4). Panasnya cuaca memudahkan mereka menjemur gabah sehingga berani menjual dengan harga lebih tinggi.
Foto: Republika/Lilis Sri Handayani
Seorang petani di Desa Cempeh, Kecamatan Lelea, Kabupaten Indramayu sedang menjemur gabah yang baru dipanennya, Rabu (4/4). Panasnya cuaca memudahkan mereka menjemur gabah sehingga berani menjual dengan harga lebih tinggi.

REPUBLIKA.CO.ID, INDRAMAYU -- Memasuki akhir puncak panen raya, harga gabah di tingkat petani di Kabupaten Indramayu dan Cirebon malah turun. Kebijakan impor beras yang digulirkan Pemerintah Pusat dituding menjadi penyebab utama kondisi tersebut.

Wakil Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan  (KTNA) Kabupaten Indramayu, Sutatang, menyebutkan, harga gabah kering panen (GKP) di tingkat petani saat ini rata-rata Rp 4.500 – Rp 4.800 per kilogram (kg). Harga tersebut turun dari sebelumnya yang mencapai Rp 5.000 per kg.

Sedangkan untuk harga gabah kering giling (GKG), saat ini berkisar Rp 5.500 per kg. Harga itupun mengalami penurunan dari sebelumnya yang mencapai Rp 6.000 per kg.

"(Penyebab) utamanya karena ada impor beras," kata Sutatang kepada Republika.co.id, Rabu (26/9).

Biasanya, saat puncak panen raya berakhir, terutama panen musim gadu (kemarau), harga gabah di tingkat petani akan mengalami kenaikan. Pasalnya, pasokan gabah dari petani akan berkurang. Namun akibat impor beras, harga gabah petani menjadi tertekan.

Selain karena impor beras, lanjut Sutatang, masih adanya sejumlah daerah yang panen juga turut mempengaruhi penurunan harga gabah. Daerah-daerah yang kini masih melangsungkan panen itu sebelumnya terlambat tanam. Hal itu di antaranya seperti yang terjadi di Kecamatan Sukra, Patrol, Anjatan maupun Krangkeng.

"Mereka tanamnya belakangan, panennya juga belakangan. Jadi intinya, pasokan gabah dari petani selalu tersedia dalam jumlah banyak," kata Sutatang.

Pada masa panen gadu kali ini, produksi padi petani pun cukup tinggi. Bahkan, lebih tinggi dibandingkan panen gadu tahun lalu. Jika dirata-ratakan, panen gadu tahun ini produksinya mencapai 6,9 ton per hektare. Bahkan, ada pula tanaman padi di sejumlah daerah yang produksinya diatas delapan ton per hektare.

Sutatang menilai, dengan harga gabah seperti sekarang, para petani tidak bisa memperoleh keuntungan. Pasalnya, modal yang dikeluarkan selama tanam kali ini cukup besar, terutama bagi yang menggunakan pompanisasi untuk pengairan sawahnya, yakni sekitar Rp 8 juta – Rp 9 juta per hektare.

Sementara itu, kebijakan impor beras juga dikeluhkan petani di Kabupaten Cirebon. Mereka mengungkapkan, impor beras semakin membuat nasib mereka jadi sengsara.

"Petani di sini sedang rugi karena kekurangan air dan serangan tikus. Sekarang malah ditambah ada impor beras," keluh seorang petani di Kecamatan Suranenggala, Sutarno.

Sutarno menjelaskan, kekurangan air melanda daerahnya di saat musim tanam gadu kali ini. Akibatnya, tanaman padinya menjadi gabug (bulir padi kosong tidak terisi). Jikapun ada bulir padi yang terisi, malah dimakan oleh tikus.

Sutarno mengaku menanam padi di lahan seluas tiga hektare. Akibat kurang air dan serangan tikus, hasil panennya jauh berkurang hingga tidak bisa menutup modal tanam yang telah dikeluarkannya.

"Dari lahan tiga hektare itu, saya rugi Rp 15 juta," ujar Sutarno.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement