Senin 24 Sep 2018 14:31 WIB

Buwas Peringatkan untuk tidak Mempermainkan Data Beras

Perum Bulog targetkan penyerapan beras tahun ini sebanyak 1,4 juta ton.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Nidia Zuraya
Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso (Buwas) dalam konferensi pers di Kantor Pusat Perum Bulog, Rabu (19/9), menegaskan tidak akan melakukan impor beras hingga Juni 2019 karena stok hingga akhir 2018 bisa sampai tiga juta ton setelah semua total impor beras masuk sebanyak 1,8 juta ton dari pesanan 2017.
Foto: Republika/Rahayu Subekti
Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso (Buwas) dalam konferensi pers di Kantor Pusat Perum Bulog, Rabu (19/9), menegaskan tidak akan melakukan impor beras hingga Juni 2019 karena stok hingga akhir 2018 bisa sampai tiga juta ton setelah semua total impor beras masuk sebanyak 1,8 juta ton dari pesanan 2017.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso meminta agar tidak ada pihak yang mempermainkan data terkait penyerapan beras. Peringatan tersebut disampaikannya setelah ada pihak yang menyebutkan Bulog hanya dapat menyediakan beras 800 ribu ton apabila tidak impor.

Budi Waseso yang akrab disapa Buwas ini menjelaskan, penyerapan beras yang dilakukan Bulog mencapai 1,4 juta ton. Angka 800 ribu ton merupakan sisa beras setelah digunakan keperluan program subsidi beras atau rastra dan bantuan sosial (bansos).

"Ketika sudah digunakan untuk itu semua, sekarang sisanya 800 ribu sekian ton, hampir 900 ribu ton," tuturnya ketika ditemui di kantor Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia di Jakarta, Senin (24/9).

Buwas mengajak kepada para pemangku kepentingan untuk duduk dalam satu meja dan melihat data secara bersama-sama. Tujuannya, agar tidak ada lagi polemik di kemudian hari mengenai data beras, termasuk untuk tingkat penyerapan dalam negeri.

Apalagi, kata dia, tahun depan merupakan tahun politik di mana pengadaan beras cenderung rentan dipermainkan. Salah satu pihak yang diajak Buwas bekerja sama dan terlibat dalam perkara adalah Kadin. Organisasi yang terdiri atas berbagai pengusaha dengan ragam latar belakang ini dianggap memiliki pernan penting dalam menumbuhkan kekuatan pangan negara.

Buwas juga menekankan, pemerintah dan pihak terkait lain tidak hanya berfokus pada pengadaan beras semata. Sebab, masih ada 11 bahan pokok lain yang juga harus diperhatikan pengadaan dan penyalurannya kepada masyarakat. "Misalnya saja minyak goreng, tepung, daging sapi dan ayam, semua harus diperhatikan," ujarnya.

Sementara itu, Ketua Umum Kadin Indonesia Rosan Roeslani menuturkan, beras merupakan isu para pemangku kepentingan, terutama dari segi ketahanan pangan. Banyak yang melihat Indonesia luas, tapi sebenarnya area yang dapat dimanfaatkan untuk pangan tidak terlampau besar. Terlebih, ketika dibanding dengan Australia.

Menurut Rosan, seluruh lahan Australia bisa dimanfaatkan untuk produksi pangan. Namun, Indonesia hanya memiliki daratan sepertiga dari total luasan dan itu pun tidak semuanya bisa dimanfaatkan sebagai lahan produksi pangan.

"Jadi, pekerjaan kita saat ini adalah bagaimana tingkatkan produktivitas dan efisiensi lahan," ucapnya.

Sebelumnya, mantan sekretaris jenderal Kementerian BUMN Said Didu menuturkan, isu pengadaan beras layaknya kaset kusut yang mengulang lagu sama. Permasalahan ini sayangnya terjadi di setiap tahun.

Ia menduga, penyebab utama dari kekisruhan ini adalah tidak adanya keputusan tegas dari pimpinan, baik itu dari Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian maupun Presiden.

Said mengatakan, mekanisme pada masanya sangat jelas. Setelah rapat koordinasi, menko perekonomian harus segera lapor ke presiden untuk kemudian diambil keputusan tentang impor beras.

"Saya tidak tahu bagaimama kondisinya saat ini. Tapi, yang saya lihat, Menko (Perekonomian) sekarang juga belum tegas," ucapnya dalam acara debat Indonesia Business Forum di Jakarta, Kamis (20/9).

Said menyebutkan, Kemendag, Kementan, BPS, dan Bulog sebagai empat ‘anak nakal’ yang memiliki data berbeda tentang beras. Ketika sang orang tua, dalam hal ini adalah menko perekonomian presiden, tidak tegas terhadap anak-anaknya, maka tidak ada landasan pengambilan keputusan yang objektif. Dampaknya, kisruh impor beras akan terus terjadi berulang-ulang.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement