REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah mengajak produsen rokok untuk patuh pada peraturan dan mengisi pasar dengan produk legal. Kerja sama pemerintah dan produsen untuk memasok pasar dengan produk legal akan menguntungkan semua pihak.
Direktur Jenderal Bea dan Cukai Heru Pambudi mengatakan dalam beberapa waktu terakhir, porsi rokok ilegal di pasaran terus ditekan pemerintah. "Dari 12,14 persen di 2016 menjadi 7,04 persen di 2018. Penurunan pasokan itu membuka peluang pasar sebanyak 18,1 miliar batang. Pangsa pasar yang kosong ini dapat dimasuki rokok legal yang membayar cukai," ujarnya, Sabtu (22/9).
Peneliti P2EB Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM Arti Adji mengatakan, pasar yang ditinggal rokok ilegal terbuka karena konsumen bukan berhenti merokok. Mereka mencari produk pengganti dengan karakter yang mendekati produk yang mereka konsumsi selama ini.
Kepala Sub Direktorat Tarif Cukai pada DJBC Sunaryo mengatakan yang bisa masuk ceruk yang ditinggalkan rokok ilegal adalah rokok legal dengan harga jual eceran Rp 7.000. Harga itu kurang lebih setara dengan harga rokok ilegal selama ini.
Anggota Dewan Penasihat Forum Masyarakat Industri Rokok Seluruh Indonesia (Formasi) Andriono Bing Pratikno mengatakan, produk legal yang paling mungkin mengisi pangsa yang ditinggalkan rokok ilegal adalah sigaret kretek tangan (SKT), terutama golongan II dan III, karena harganya setara dengan rentang harga rokok ilegal.
Masalahnya, selama ini produsen SKT terbentur pada aturan pemerintah. Mengisi pangsa yang ditinggalkan rokok ilegal berarti menambah jumlah produksi. Penambahan jumlah produksi dapat membuat produsen membayar cukai di golongan tarif lebih mahal, sehingga harga akan menjadi kurang kompetitif dengan rokok ilegal tanpa cukai.
"Harga memang menjadi faktor pemicu konsumsi rokok ilegal. Harga jual eceran (HJE) rokok ilegal rata-rata Rp 6.000 hingga Rp 8.000. Sementara rokok legal dengan jenis sama bisa mencapai Rp 15.000 atau dua kali lipat dari HJE rokok ilegal. Akibatnya, ada konsumen yang memilih produk ilegal," ucapnya kepada media.
Ia mendorong pemerintah memberi insentif pada SKT. Pemerintah akan diuntungkan jika memberi kelonggaran jumlah produksi pada industri SKT. Dengan insentif itu, bisa membantu pemerintah menekan produk ilegal. Sebab, produsen akan mencoba menambah produksi untuk memasok pasar.
Di sisi lain, penambahan produksi berarti penambahan lapangan atau jam kerja sehingga bisa mengurangi pemutusan kerja di SKT. Potensi pasar akibat penurunan rokok ilegal setara dengan penambahan 25 ribu tenaga kerja apabila terealisasi.