Jumat 21 Sep 2018 06:11 WIB

Said Didu: Isu Impor Beras Seperti Kaset Kusut

Menteri Perekonomian diminta tegas untuk mengatasi masalah ini.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Teguh Firmansyah
Sejumlah pekerja melakukan pengemasan beras di gudang Perum Bulog Subdivisi Regional (Drive) Meulaboh, Aceh Barat, Aceh, Kamis (20/9). Kepala Perum Bulog Sub Drive Meulaboh Ade Mulyani mengatakan stok beras di gudang Bulog Meulaboh mencapai 3.200 ton setelah penambahan jatah beras impor Vietnam sebanyak 2.000 ton.
Foto: Syifa Yulinas/Antara
Sejumlah pekerja melakukan pengemasan beras di gudang Perum Bulog Subdivisi Regional (Drive) Meulaboh, Aceh Barat, Aceh, Kamis (20/9). Kepala Perum Bulog Sub Drive Meulaboh Ade Mulyani mengatakan stok beras di gudang Bulog Meulaboh mencapai 3.200 ton setelah penambahan jatah beras impor Vietnam sebanyak 2.000 ton.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan Sekretaris Jenderal Kementerian BUMN Said Didu menuturkan, isu impor beras layaknya kaset kusut yang mengulang lagu sama. Permasalahan ini sayangnya terjadi di tiap tahun. Ia menduga, penyebab utama dari kekisruhan ini adalah tidak adanya keputusan tegas dari pimpinan. Baik itu dari Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian maupun Presiden.

Said mengatakan, mekanisme pada masanya sangat jelas. Setelah rapat koordinasi, menko perekonomian harus segera lapor ke presiden untuk kemudian diambil keputusan tentang impor beras.

"Saya tidak tahu bagaimama kondisinya saat ini. Tapi, yang saya lihat, Menko (Perekonomian) sekarang juga belum tegas," ucapnya dalam acara debat Indonesia Business Forum di Jakarta, Kamis (20/9).

Said menyebutkan, Kemendag, Kementan, BPS dan Bulog sebagai empat ‘anak nakal’ yang memiliki data berbeda tentang beras. Ketika sang orang tua, dalam hal ini adalah menko perekonomian presiden, tidak tegas terhadap anak-anaknya, maka tidak ada landasan pengambilan keputusan yang obyektif. Dampaknya, kisruh impor beras akan terus terjadi berulang-ulang.

Baca juga, Polemik Impor Beras dan Kegeraman Buwas.

Sementara itu, Ketua Umum Koperasi Pasar Induk Beras Cipinang Zulkifli Rasyid menilai, kebijakan impor beras menjadi pilihan yang tepat dilakukan pemerintah. Apabila tidak segera dilakukan, ia cemas kejadian pada akhir 2017 sampai awal 2018 kembali terulang. Saat itu, kelangkaan beras terjadi, tapi pemerintah justru mengatakan surplus.

Zulkifli menjelaskan, jika pemerintah tidak segera mengimpor beras, stok beras yang tersedia hanya 810 ribu ton. Jumlah tersebut dinilainya kurang untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia, terutama dalam menghadapi musim kemarau. "Bulan November sampai nanti panen raya adalah bulan yang harus dijaga-jaga (ketersediaan beras)," ujarnya.

Terkait permasalahan gudang yang disampaikan Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso (Buwas), Zulkifli menganjurkan untuk membuka keran koperasi pasar secara bebas. Selama ini, pelaku pasar masih dilarang untuk mengoplos dan mengirim ke konsumen. Dampaknya, peredaran beras dari Bulog tidak menyebar secara efektif sehingga banyak menumpuk.

Beras impor yang ada dari gudang Bulog juga bisa dipadukan bersama beras lokal. Sebab, menurut Zukifli, beras dari Thailand dan Vietnam cenderung hambar dan tawar. Sedangkan, beras dari Indonesia memiliki cita rasa yang khas. "Kalau keduanya diaduk akan saling menguntungkan. Jadi ada rasa dan kestersediaannya juga tetap stabil," tuturnya.

Di tengah kekisruhan isu impor beras, Zulkifli berharap pemerintah tetap fokus dalam menyediakan beras di pasaran. Baik itu dalam harga yang mahal ataupun murah. Sebab, bagi pelaku pasar, kepastian ketersediaan barang merupakan poin terpenting. Zulkifli juga meminta kepada pemerintah untuk memberikan data riil tentang ketersediaan beras yang selama ini belum dimunculkan ke publik.

Kebijakan impor beras kembali menjadi konflik. Tujuan awal ingin memperkuat stok dan cadangan, impor beras justru dianggap tidak butuh dilakukan karena mubazir. Enggar dan Buwas yang memegang peranan penting dalam keputusan impor beras justru saling lempar pandangan berbeda terhadap kebijakan ini.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement